JAKARTA - Mas Bambang jatuh cinta dengan seorang gadis. Karena ayah sang pujaan hati pengagum berat Bung Karno, Mas Bambang pun berniat melamar si gadis dengan membawa set buku Di Bawah Bendera Revolusi. Nahasnya, sebelum Mas Bambang datang menyampaikan maksudnya, sang ayah mengundangnya hadir pada pesta perkawinan putrinya.
Penggalan adegan tersebut adalah bagian dari buku cerita Cello karya Waluya DS. Beberapa waktu lalu, Magister Ilmu Susastra Universitas Diponegoro (Undip) dan Dewan Kesenian Semarang (Dekase) mengundang Sapardi Djoko Damono dan Soedharwo untuk membedah buku tersebut di Gedung Ki Nartosabdo Taman Budaya Raden Saleh.
Waluya DS merupakan penulis Indonesia kelahiran Klaten, 11 Desember 1945. Dia kini menetap di Melbourne setelah menikah dengan warga negara Australia.
Seperti dikutip dari keterangan tertulis Undip kepada okezone, Soedjarwo menilai, dalam usianya yang tidak muda lagi, Waluya mempunyai pengalaman yang banyak dan beragam. "Pengalaman, pikiran, dan kenang-kenangan itu mengalir deras ke dalam cerita-ceritanya," jelas Soedjarwo.
Salah satunya seperti yang terlihat dalam cerita Mas Bambang. Dikisahkan, selain patah hati karena pujaan hatinya menikah dengan pria lain, Mas Bambang kecewa ketika mendapati bagian dari naskah cerpennya digunakan sebagai pembungkus kacang di warung. Hal ini terjadi karena dia teledor dalam memisah-misahkan naskah yang masih terpakai dan tidak.
Di kehidupan nyata, Waluya pernah kehilangan naskah-naskah cerpennya di redaksi Horison karena banjir. Kesedihan ini menyebabkan dia sempat berhenti berkarya selama sekira 20 tahun. Cello adalah penanda kembalinya Waluya dalam dunia penulisan dan merupakan langkah awal sebelum dia meluncurkan novel dalam waktu dekat.
Secara keseluruhan, cerita Mas Bambang menceritakan karakter tokoh utamanya yang suka memberikan pengarahan dan dorongan kepada pengarang. Di samping nama Bambang (Bambang Subendo) disebut juga nama-nama lain dalam cerita ini seperti Budiman S Hartoyo (alm), Jajak MD, Mas Totok (Darmanto Yatman), Arifin C Noor, dan Hamsad (Hamsad Rangkuti).
Dijelaskan Soedjarwo, sebagai penulis, Waluya memiliki loncatan-loncatan pikiran dari satu hal ke hal lainya. Pembaca harus hati-hati membaca ceritanya, karena perpindahan tempat kejadian dan perpindahan waktu terkadang tidak jelas. "Misalnya ketika melihat perempuan-perempuan bule dengan pakaian minim di pantai, ingatan pengarang kembali ke masa kanak-kanaknya ketika mandi di Pluneng, ke pasar Telo di Magelang, ke cerita Ande-ande Lumut dan kisah Ken Arok," imbuh Soedjarwo.
Pengalaman, pengetahuan, dan pemikiran yang dimiliki Waluya merupakan potensi besar untuk menulis cerita. Dia juga memuji penguasaan Waluya atas bahasa Indonesia sangat baik. Ini terlihat dari kalimat-kalimat yang dia gunakan dalam cerita-ceritanya runtut dan terpelihara. Ditegaskan Soedjarwo, "Oleh karena itu tidak mustahil apabila dari tangannya akan lahir novel-novel yang berbobot."
Sementara, Sapardi menyatakan, "Pengalaman seorang penulis yang berpindah-pindah tempat tinggal tentu akan memberikan pengalaman dalam proses penulisan karyanya."
Acara bedah buku ini dimulai dengan penampilan pantomim oleh Roda Gila dan Kelap-Kelip Bersaudara sebagai bentuk apresiasi dari karya waluya, Waktu Hujan Turun. Tidak hanya itu, penyair senior Timur Sinar Suprabana juga turut serta membaca cerpen waluya.
(Rani Hardjanti)