Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement
Pahlawan Kontroversi

Presiden Darurat RI, Pahlawan Terabaikan

Ajat M Fajar , Jurnalis-Selasa, 23 November 2010 |08:01 WIB
Presiden Darurat RI, Pahlawan Terabaikan
Syafruddin Prawiranegara (Ist)
A
A
A

JAKARTA - Banyak nama-nama tokoh perjuangan yang telah membuat bangsa Indonesia merdeka dan berkembang seperti saat ini. Ada yang hanya menggunakan pemikiran-pemikirannya untuk berjuang di masa penjajahan Belanda, dan ada juga yang berjuang secara fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Republik ini.
Namun tidak banyak orang yang tahu bahwa sebenarnya sebelum pemerintahan Republik Indonesia terbentuk, ada sebuah pemerintahan yang saat penjajahan Belanda menjadi penyelamat atau penyambung hidup Republik Indonesia pascakemerdekaan.
 
Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau yang lebih dikenal sebagai PDRI ini ternyata merupakan penyelamat berdirinya Republik Indonesia sampai sekarang ini. Pasalnya, di tahun 1949 setelah kemerdekaan Indonesia, bangsa Belanda kembali datang ke Indonesia. Pada saat itu, Presiden Seokarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap oleh Belanda di Yogyakarta, sehingga otomatis tidak ada orang yang bisa menggerakan pemerintahan selain kedua orang tersebut.
 
Melihat kondisi seperti itu peluang untuk kembali dijajah oleh Belanda sangat besar. Maka di tengah-tengah situasi tersebut sosok bernama Syafruddin Prawiranegara yang berinisiatif mengetuai dan memimpin langsung Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) menggantikan Soekarno.
 
“PDRI itu merupakan yang memperpanjang umur pemerintahan Indonesia selama sembilan bulan,” ungkap Sejarawan Universitas Indonesia Magdalia Alfian saat berbincang-bincang dengan okezone, beberapa waktu lalu.
 
Menurut wanita yang juga merupakan anggota Tim Peneliti Pengkajian Gelar Pusat ini, atas jasa-jasanya tersebut maka Syafruddin Prawiranegara beberapa tahun yang lalu sempat menjadi calon penerima gelar pahlawan nasional. Namun entah mengapa, dalam prosesnya yang telah sampai pada tingkatan Dewan Gelar namanya tidak dianugerahi sebagai pahlawan nasional.
 
“Saya kurang tahu juga kenapa, dan saya tidak mau memberikan komentar tentang itu karena saya tidak berada pada posisi tersebut. Itu sepenuhnya merupakan pertimbangan dari Presiden,” jawabnya dengan diplomatis.
 
Padahal, dilihat dari perjalanan sejarahnya, PDRI yang berdiri di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat ini merupakan penggerak roda pemerintahan pascaSoekarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda pada saat itu. Selain menjalankan roda pemerintahan, tujuan didirikannya PDRI juga berperan untuk menyampaikan berita kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada, meski kedua tokoh sentralnya telah ditangkap oleh kolonial Belanda.
 
Uniknya, nama Syafruddin Prawiranegara ternyata sudah dua kali masuk dalam tahap penjaringan di tingkat pusat. Sayang, untuk kedua kalinya juga nama Syafruddin kembali gagal mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
 
Usut punya usut, ternyata kegagalan itu ada kaitannya dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia yang biasa disingkat PRRI. Syafruddin dikaitkan dengan PRRI yang merupakan gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin waktu itu oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di kota Padang, provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
 
Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu, ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan. Pada masa bersamaan, kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pascaagresi Belanda. Hal ini juga mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
 
Sebelumnya, bibit-bibit konflik tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Perda Nomor 50 tahun 1950 tentang Pembentukan Wilayah Otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi.
 
Namun apa yang menjadi pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakan, oleh pemerintah pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan dan kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan militer terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia.

(Lusi Catur Mahgriefie)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement