Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Hasyim Muzadi: Nasib Libya Akan seperti Irak

Muhammad Saifullah , Jurnalis-Minggu, 23 Oktober 2011 |19:02 WIB
Hasyim Muzadi: Nasib Libya Akan seperti Irak
Hasyim Muzadi (Foto: Koran SI)
A
A
A

JAKARTA - Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) mengatakan Hasyim Muzadi menilai setelah tewasnya Khadafi, bukan berarti Libya tertata rapi, hidup tentram, dan sejahtera.

Pemimpin baru Libya nantinya akan menanggung masalah berat yakni menciptakan stabilitas keamanan.

“Kesulitan pertama pasca jatuhnya rezim Kadhafi adalah sulitnya menciptakan persatuan dan keamanan rakyat," ujar Kiai Hasyim kepada okezone di Jakarta, Minggu (23/10/2011).

Menurutnya, nasib Libya akan sama dengan Irak pasca-lengser dan meninggalnya Saddam Husain. Hingga kini Irak masih dilanda perang suadara.

Apalagi, di Libya militan loyalis Khadafi jumlahnya masih sangat besar. Mereka tidak akan terima dengan kondisi saat ini.

"Di sinilah kesulitan rezim baru Libya sebagaimana rezim baru di Irak yang sampai sekarang kesulitan menggalang stabilitas,” jelas mantan Ketua Umum PBNU yang pernah berkunjung ke Libya pada 2004 dan 2006 ini.

Sementara itu, lanjut dia, pada fase saat ini, NATO tidak akan segigih saat “membela” Libya atas nama demokrasi dan HAM. Fokus mereka selanjutnya tentu masalah konsesi minyak. “Sebab, motif pertama dan utama dalam perubahan oleh Barat di Timteng adalah minyak,” jelasnya.

Namun, dalam rangka menghemat biaya, Barat tidak menggunakan cara invasi besar-besaran, seperti serangan dua kali ke Saddam Husein di Irak. "Serangan dan invasi total Barat seperti di Irak sangat mahal, karena menghabiskan biaya besar,” ungkapnya.

Kini, jelas Hasyim, Barat lebih memilih membiayai kelompok oposisi dengan tema demokrasi dan HAM untuk memberontak, dan ketika pemerintah menindak setiap pemberontakan, maka pemerintah yang bersangkutan terkenan tuduhan melanggar HAM. “Hal itu kemudian menjadi justifikasi serangan atau mempersenjatai kelompok pemberontak,” jelasnya.

Dikatakannya, sebelum invasi dilakukan terhadap penguasa yang dianggap melanggar HAM, Barat melakukan sanksi berupa pembekuan aset-aset penguasa atau pemerintah yang sebagian untuk membiayai pemberontak. “Kini, ketika khadafi sudah meninggal, tentu asetnya lebih sulit dilacak oleh Barat,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia menyayangkan kebiasaan raja-raja minyak di Timteng yang gemar menyimpan uangnya di Barat. “Padahal cara ini sebenarnya adalah gol bunuh diri oleh mereka sendiri, pembekuan aset, sebagian dipakai untuk memprovokasi dan membiayai para pemberontak untuk menjatuhkan penguasa atau pemerintah," katanya.

Terlepas dari hal itu, kekeliruan dari beberapa rezim di negara-negara Islam, adalah tidak adanya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Hal itu akhirnya digunakan sebagai pintu masuk intervensi asing demi minyak dan hegemoni. Namun, tidak semua negara monarki dan teokratis menjadi sasaran invasi Barat.

Terkait dengan jatuhnya rezim Khadafi dan pergolakan Timteng secara umum, menurutnya, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh dunia Islam. Pertama, kesenjangan antara ajaran Islam dan negara Islam, utamanya dalam keadilan politik dan ekonomi.

Kedua, sulitnya mempersatuan negar-negara Arab. Masyarakat di Timteng tidak pernah bersatu, sehingga Amerika bisa menyerang Afghanistan dengan menggunakan pangkalan militer di Karachi.

"Amerika juga menyerang Irak dua kali dengan menggunakan pangkalan di Arab Saudi. Selain itu, Amerika juga menyerang Libya dengan pangkalan di Qatar," tuturnya.

Pasca-lengsernya Rezim Khadafi, jelas dia, Barat akan tetap tertuju ke Timur Tengah. “Suriah bisa menjadi target berikutnya karena negara ini bisa mengganggu Israel,” tandasnya.

(Anton Suhartono)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement