JAKARTA - Nahdlatul Ulama (NU), organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, di era kepemimpinan KH Said Aqil Siroj memiliki sikap berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Wadah berhimpun kaum bersarung itu kini tampak mesra dengan pemerintah.
Berbeda dengan NU di era sebelumnya, seperti pada masa kepemimpinan KH Hasyim Muzadi atau KH Abdurrahman Wahid. Di bawah kepemimpinan kedua tokoh tersebut, NU lebih memilih bersikap oposan.
Sehubungan dengan hal ini, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menjelaskan bahwa kedekatan NU dengan pemerintah tidak lepas dari prinsip ahlussunnah wal jamaah. Yaitu, menjaga kebersamaan sehingga NU memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan pemerintahan. Dengan catatan, pemerintah tidak melanggar undang-undang.
“Kelompok ahlussunah wal jamaah itu adalah kelompok yang selalu mementingkan jamaah, yakni kebersamaan. Selama pemerintah tidak melanggar undang-undang harus kita jaga dan dukung,” ujar Kang Said kepada Okezone.
Bila pemerintah melanggar UU, Kang Said menegaskan, NU berkewajiban untuk menasehatinya. “Dan diberi masukan,” kata dia.
Bagi dia, kritik serta masukan itu bukan dalam rangka menggulingkan pemerintahan. Oleh sebab itu, semua ormas tidak hanya NU berkewajiban memegang dan menjaga keberlangsungan pemerintahan hingga selesai.
“Kritikan dan masukan itu bukan dalam rangka menjatuhkan pemerintah, nah itu pilihan ahlussunah wajaah, tidak hanya NU. Ahlussunan wajamaah itu selalu mendahulukan kekompakan,” jelas dia.
“Contoh, ketika terjadi perang saudara antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib yang benar itu adalah Ali. Tetapi ketika Muawiyah yang menang dan Ali kalah semua ulama-ulama mendukung yang ada. Yang penting ada jamaah, di mana umat ada yang memimpin secara utuh dan ada kebersamaan. Dari pada memihak kepada Ali tapi jadi minoritas seperti kelompok Syiah itu. Waktu itu semua ulama tahu bahwa Muawiyah salah dan Ali yang benar lalu semua kembali mendukung Muawiyah. Yang penting ada kepemimpinan,” imbuhnya.
Kang Said mengatakan, NU selalu mengkritik pemerintah SBY, seperti seruan untuk tidak bayar pajak karena selalu dikorupsi. Bahkan, seruan ini menjadi rekomendasi resmi Konbes Alim Ulama NU di Cirebon beberapa waktu lalu. Bagi dia, kritik harus ada tapi bukan dengan tujuan menggulingkan pemerintahan.
“NU ini bukan lantas tidak mengkritik terhadap pemerintahan SBY. Contohnya pertemuan alim ulama di Cirebon kemarin seperti pembahasan pajak, apakah itu bukan kritikan yang keras. Kritik itu bukan sebuah tendensi untuk merongrong sebuah kekuasaan atau merusak kontitusi kita tapi kami selalu berada di belakang institusi karena sisten presidensial kita itu lima tahun,” tegasnya.
Sehingga, kata dia, NU memilih untuk mengawal pemerintahan SBY hingga selesai. “Kami kan selalu di belakang Pak SBY hingga selesai pemerintahannya sampai 2014,” ucapnya.
Kata dia, sejarah pahit yang pernah melanda Indonesia tidak boleh terulang kembali, di mana Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur diberhentikan ditengah jalan tanpa jelas kesalahan dan pelanggarannya serta alasan yang tidak jelas. Pengalaman itu, kata Kang Said, sangat menyakitkan, terutama bagi warga NU. Oleh sebab itu, pemimpin tidak boleh dimakzulkan bila belum diketahui kesalahan serta pelanggarannya.
“Kedua, kita punya pengalaman pahit dan itu menjadi pelajaran kita semua. Kita punya presiden diberhentikan di tengah jalan tanpa jelas kesalahan dan pelanggarannya. Itu yang dialami oleh Gus Dur dan itu kita sakit sekali, dan itu kita belum sembuh hingga saat ini. Demikian pula kalau kita berbuat pada yang lain menggulingkan pemerintahan tanpa jelas kesalahannya. Pemerintahan yang sangat menyakitkan ketika Gus Dur digulingkan dan kita tidak akan melakukan hal serupa jika tanpa jelas pelanggaran dan kesalahannya,” pungkasnya.
(Muhammad Saifullah )