BANDUNG - Wajahnya masih terlihat polos. Sarah Tsunami, bocah berusia tujuh tahun, itu memiliki tekad kuat untuk mengenyam pendidikan. Ia kini duduk di Kelas I SDN I Bojong di Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Setiap pergi ke sekolah, ia berjalan kaki diantar sang ibu, Juju Juariah (43). “Kalau ke sekolah diantar ibu jalan kaki karena enggak ada kendaraan yang lewat," kata Supriatin (17), kakak Sarah, di RS Mata Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (16/12/2013).
Juju merupakan tunanetra. Ia sempat bisa melihat, namun saat bocah, ia kehilangan penglihatannya. Meski tak bisa melihat, Juju ternyata tahu arah tempat Sarah bersekolah.
“Ibu sudah tahu jalan walaupun matanya enggak melihat,” ungkapnya.
Soal kondisi jalan dari rumah menuju sekolah, ia menyebut jalannya cukup rata. “Jalannya lumayan rata, enggak menanjak, aspal tapi sudah rusak,” tuturnya.
Setiap hari, Juju mengantar Sarah ke sekolah sekira pukul 05.30 WIB. “Jalan kaki biasaya satu jam. Kadang ditungguin sampai pulang,” ucap Supriatin.
Sarah sendiri tidak mengeluh harus berjalan kaki sejauh dua kilometer. Ia tetap bersemangat untuk menggapai cita-citanya menjadi guru.
"Kalau pulang sekolah, kadang pulang sendiri, kadang diantar mamah,” ujar Sarah.
Sesekali, ia mengaku menggunakan sepeda. Namun kini sepedanya rusak hingga tidak bisa dipakai lagi.
Jika punya sepeda, ia bisa pergi sendiri ke sekolah tanpa harus diantar ibunya. Ia sendiri sebenarnya berani pergi ke sekolah sendiri. Namun karena ibunya khawatir, Sarah selalu diantar jika berangkat sekolah.
Saat ini, Sarah memiliki keluhan pada matanya. Ia tidak bisa melihat jelas. Bahkan untuk membaca pun ia harus melihat dengan sangat dekat. “Kalau baca agak susah, matanya juga sering pegal," bebernya.
Hal itu dirasakan Sarah sejak setahun terakhir. Namun karena keluarga tidak punya biaya, Sarah tidak diperiksakan ke dokter. Baru hari ini ia diperiksa di RS Mata Cicendo setelah dibantu salah satu LSM.
Keluarga Sarah tergolong tidak mampu. Ia dan keluarganya tinggal di kawasan terpencil di Dusun Bantarsari, Desa Bojong, Kecamatan Parigi, Kabupten Pangandaran.
Utan (75), ayah Sarah, merupakan petani. Sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa.
Sarah berharap matanya bisa kembali normal. Namun belum diketahui jenis gangguan pada matanya. Saat ini, dokter masih melakukan pemeriksaan terhadap Sarah.
Sementara soal nama Sarah Tsunami, ada sisi menarik yang membalutnya. Momentum kelahirannya bertepatan dengan peristiwa tsunami di Pangandaran pada 2006. Sehari setelah lahir, terjadi tsunami. Gelombang laut menyeret tubuhnya terseret beberapa ratus meter. Ia baru ditemukan sekira 1,5 jam setelah kejadian pada tumpukan sampah. Karena peristiwa itu, Sarah diberi nama belakang Tsunami.
(Anton Suhartono)