Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Paradoksia Perguruan Tinggi

Bramantyo , Jurnalis-Jum'at, 21 Maret 2014 |17:10 WIB
Paradoksia Perguruan Tinggi
Ilustrasi: eventsstyle
A
A
A

SOLO - Perguruan tinggi sejatinya wadah candradimuka untuk melatih calon-calon intelek unggul. Sayangnya, yang kini terjadi di Indonesia tidaklah demikian.

Pembantu Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Lukman Hakim, SE, MSi, PhD menyatakan, saat ini perguruan tinggi saat ini tengah mengalami paradoks. Seharusnya, perguruan tinggi setiap hari melahirkan puluhan doktor. Kenyataannya, justru semakin tidak ada intelektual yang muncul.

"Saat ini perguruan tinggi harus intropeksi, bagaimana supaya dapat melahirkan intelektual yang menjadi panutan masyarakat," jelas Lukman saat berbicara tentang Intelektual Perguruan Tinggi, di Kampus FEB UNS, Solo, Jawa Tengah, Jumat (21/3/2014).

Saat ini, kata pakar ekonomi FEB UNS itu, masyarakat telah merindukan kembali peranan intelektual dan perguruan tinggi dalam mengawal proses perubahan sosial. Untuk itu, mereka perlu melakukan refleksi kembali apa yang salah sehingga tidak melahirkan intelektual?

Seiring dengan waktu, pengertian intelektual sendiri mengalamai perubahan yang dinamis sesuai dengan konteksnya. Bila mengutip Edward Shils (1960), intelektual dalam konteks modern agak berbeda dengan masa lampau; terutama berhubungan dengan atribut yang mereka miliki yakni tingkat pendidikan dan ketrampilan yang tinggi.

"Sekarang ini kelompok intelektual, biasanya terlahir dari dunia pendidikan tinggi atau universitas. Ia adalah lembaga yang bertanggungjawab untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan sekaligus melahirkan para ahli dalam bidangnya," imbuh Lukman. 

Oleh sebab itu, kata Lukman, intelektual zaman modern biasanya lahir dari perguruan tinggi. Contohnya, Adam Smith, Karl Marx, dan Albert Einstein yang meraih gelar doktor dari perguruan tinggi. Gelar ini sangat berpengaruh terhadap karya-karya mereka selanjutnya. Kecenderungan tersebut juga semakin terlihat pada abad ke-20 dan 21 ini. Intelektual selalu bertalian dengan perguruan tinggi.

"Artinya, di abad milenium ini universitaslah lembaga paling bertanggungjawab atas lahirnya kelompok intelektual. Namun memasuki dekade 2000-an, justru ketika jumlah doktor dan profesor meningkat, kelompok intelektual yang kita harapkan tampaknya tidak muncul," tutur Lukman.

(Rifa Nadia Nurfuadah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement