“Ketika seseorang belum profesional, tetapi berpakaian secara profesional maka ia akan terbiasa dan terbentuk dengan sendirinya,” jelas Imanuel Hutagalung, Deputy Director III, London School of Public Relations Jakarta.
MAHASISWA pada umumnya terlena dengan aturan kebebasan berpakaian saat kuliah, sehingga mereka cenderung santai dan tidak rapi. Padahal pakaian sering kali dilihat sebagai bentuk komunikasi pencerminan diri seseorang. Hal ini tidak berlaku di salah satu kampus komunikasi unggul di Jakarta, London School of Public Relations (LSPR). Awal tahun ini, Prita Kemal Gani, selaku Founder dan Director LSPR-Jakarta telah menandatangani program baru mengenai pemakaian Business Attire.
Business Attire merupakan cara berpakaian secara rapi dan formal, seperti menggunakan setelan bisnis lengkap dengan blazer atau kemeja dan dasi untuk pria. “Target dari program baru ini adalah staf, manajemen, para dosen serta mahasiswa tingkat akhir,” ujar Emilya Setyaningtyas, Corporate Reputation Executive, LSPR-Jakarta.
Mahasiswa tingkat akhir yang dimaksud di atas adalah mahasiswa yang telah memasuki semester VI hingga VIII. Pemakaian Business Attire ini diwajibkan pada saat berada di wilayah kampus dan saat kelas berlangsung pada Senin sampai dengan Rabu. Pada Kamis yang merupakan LSPR Day, seluruh mahasiswa, dosen maupun staf wajib untuk menggunakan atribut berlambang LSPR. Sedangkan Jumat adalah saatnya mahasiswa menggunakan batik Indonesia, boleh disertai dengan celana panjang jins.
Dalam brosur “Professional Dress Code Policy” yang dibuat oleh LSPR tercantum, peraturan baru ini berasal dari hasil keputusan rapat antara Manajemen Akademik dengan Wakil Direktur I, Wakil Direktur II, Wakil Direktur III serta Ketua dari LSPR-Jakarta. Selain itu, keputusan ini dibuat karena mempertimbangkan beberapa hal yaitu, mengingat mahasiswa semester VII wajib mengikuti magang yang mengharuskan mereka memakai pakaian formal dan LSPR adalah sekolah komunikasi yang terletak di pusat kota serta banyak dikelilingi gedung perkantoran juga lingkungan bisnis.
Batch XV adalah mahasiswa-mahasiwi semester VI yang pertama kali menerapkan program ini, karena pada tahun-tahun sebelumnya tidak ada peraturan yang mewajibkan mahasiswa tingkat akhir berpakaian formal. Sosialisasi awal program dilakukan langsung oleh Prita kepada mahasiswa batch XV dengan memberikan pengarahan dan penjelasan mengenai pentingnya penggunaan Business Attire di kalangan mahasiswa. Setelah sosialisasi tersebut, mahasiswa diberikan waktu sekira satu bulan untuk mempersiapkan diri menjalani aturan tersebut.
Selain menggunakan Business Attire sebagai busana sehari-hari, para mahasiswi diwajibkan untuk menggunakan make-up standar. Dalam hal berpakaian, mahasiswi sangat dianjurkan menggunakan blazer, rok harus di bawah lutut atau celana panjang bahan yang tidak ketat, memakai aksesoris sederhana dan sepatu flat formal atau hak dengan minimum tinggi tiga cm.
Sedangkan bagi para pria, rambut yang rapi dan wajah yang segar tanpa make-up sangat perlu untuk diperhatikan. Blazer dan dasi sangat disarankan bagi mahasiswa, selain itu mereka harus menggunakan celana panjang bahan katun (tidak jins), ikat pinggang dan sepatu formal. Warna yang sangat disarankan untuk pria adalah hitam, biru gelap, coklat tua, khaki dan abu-abu. Apabila ada mahasiswa ataupun mahasiswi yang melanggar aturan tersebut, maka mereka akan menerima teguran dan dikenakan sanksi berupa pengurangan Non Academic Point.
“Saya sangat setuju dengan penggunaan Business Attire di kampus LSPR, tetapi sangat disayangkan kalau baru dimulai di semester VI ini,” kata Budi Rizanto Binol, selaku Associate Account Director, Ogilvy Jakarta.
Pria yang merupakan alumni LSPR dan kerap disapa Binol ini berpendapat bahwa sebagai calon praktisi PR harusnya sudah membiasakan diri untuk berpakaian formal sejak awal dan mengenal model Business Attire yang ada, sehingga hal tersebut dapat membantu penampilan kita saat bekerja nanti dan tidak mengalami culture shock. “Profesionalisme tidak dapat diraih hanya dengan menggunakan Business Attire , tetapi didukung juga dengan sikap dan pikiran yang profesional dan dilakukan secara konsisten,” tambahnya.
Dengan adanya peraturan baru mengenai penggunaan Business Attire ini, mahasiswa diharapkan menjadi seorang pribadi yang profesional tidak hanya secara fisik tetapi juga mentalitasnya. Bayangkan saja jika seorang mahasiswa mengaku kuliah di kampus ternama dan berkualitas tetapi pada saat mengucapkan hal tersebut mereka hanya menggunakan celana jins, kaos dan sandal. Persepsi seseorang terhadap profesionalisme orang lain pasti akan meningkat ketika penampilan orang tersebut mendukung perkataannya.
Berita kiriman:
Catherine Viorenza Samuel
Mahasiswi jurusan Public Relations
London School of Public Relations Jakarta
(Rifa Nadia Nurfuadah)