Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Ini "Dosa" KPU yang Berujung Gugatan ke MK Versi Kubu Prabowo-Hatta

Arief Setyadi , Jurnalis-Rabu, 20 Agustus 2014 |06:31 WIB
Ini
MK gelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden (Foto: Runi Sari/Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditengarai telah melakukan berbagai kelalaian karena cara kerja yang dilakukan tidak terstruktur, sistemik, dan terintegrasi dalam menyelenggarakan Pilpres 2014.

Sehingga, tidak heran jika KPU digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hasil rekapitulasi suara nasional yang diputuskannya.

Saksi ahli dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Dwi Martono alias Anton mengatakan, berbagai bentuk kelalaian KPU yakni, tidak muatnya formulir D1-Desa dalam pengumuman hasil pilpres yang dipublikasikan KPU dalam situs pilpres2014.kpu.go.id/C1.php.

"Lalu, tidak diaturnya secara tegas dalam PKPU 23 tahun 2013, berkenaan dengan metodologi survei atau jajak pendapat, utamanya survei dalam bentuk exit pool. Diikuti dengan aturan yang membuka peluang pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT maupun DPTb untuk menggunakan hak pilihnya pada jam 12.00-13.00 waktu setempat," ujarnya kepada Okezone saat ditemui di kompleks MNC Tower, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2014) malam.

Anton menambahkan, KPU juga telah mengabaikan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditambah dengan mengeluarkan pengajuan permohonan surat penetapan dalam peristiwa pembukaan kotak suara di masa sengketa pemilu.

Selain itu, KPU juga dianggap telah mencederai kedaulatan rakyat yang terlihat pada penyelesain keberatan dimasing-masing tingkat penyelenggaraan diselesaikan di satu tingkat di atasnya, sebagaimana tertuang dalam pernyataan KPU, tertulis formulis (C1,DA1,DB1,DC1) merupakan hasil yang telah diplenokan pada tingkatannya dan bukan hasil final tingkat nasional karena data tersebut dapat berubah sesuai dengan hasil rapat pleno pada tingkat diatasnya atau pada rapat pleno tingkat pusat.

Padahal, kata Anton, seharusnya formulir C1, DA1, DB1, DC1 yang telah divalidasi merupakan hasil yang telah diplenokan pada tingkatannya dan merupakan hasil final tingkat nasional.

Tindakan KPU ini kata dia, berdampak pada berbagai hal, seperti publikasi yang terbilang lemah lantaran rekapitulasi yang dilakukan secara berjenjang tidak ikuti dengan hadirnya relasi antar jenjang secara utuh menimbulkan sengketa pemilu.

Lalu, dari tanggal 9-22 Juli saat hasil rekapitulasi diumumkan terjadi kesimpangsiuran informasi yang berakibat dimanfaatkan oleh lembaga survei untuk mempublikasikan hasil quick count. KPU sendiri menurutnya, tidak segera menghadirkan informasi, yang mengimplikasikan kalau KPU didikte oleh lembaga survei.

Dampak dari kelalaian KPU ini membuat dimanfaatkannya DPKTb oleh pengguna hasil exit poll, di mana yang semestinya KPU memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan suara pemilih, tetapi dengan diizinkannya survei quick count dengan metode exit poll ketika rapat pemungutan suara sedang berlangsung, membuat kerahasiaan suara itu terancam.

"Lembaga survei yang melakukan exit pool, senyatanya telah mengintip hasil pemungutan suara, sehingga mampu memprediksi pemenang pemilu pada jam 10 pagi waktu setempat," terangnya.

Dwi menambahkan, hasil prediksi ini membuka celah bagi peserta pemilu yang memperkirakan dirinya akan kalah terkait bekerjasama dengan lembaga survei, untuk merancang menaikkan perolehan suara. Adapun cara yang dilakukan yakni dengan menggerakkan massa pemilih yang sebetulnya tidak memiliki hak untuk memilih di TPS-TPS.

"Sebagai cara memenangkan dirinya. Mereka memilih menggunakan keterangan domisili, yang berfungsi laksana KTP setempat, dan kemudian dicatat dalam DPKTb," sebutnya.

Sementara itu, menyangkut pembukaan kotak suara sejatinya telah merusak bukti-bukti yang diperlukan bagi sengketa pemilu.

Ini juga berimplikasi pada kelalaian KPU dalam menjaga kedaulatan rakyat yang semestinya KPU bisa menjaga surat suara dan dokumen lainnya namun tidak dilakukan terlebih pembukaan kotak suara itu ditenggarai dapat mengubah hasil pemilu di tingkap TPS.

"Bentuk ketidakmampuan yang saling berhubungan, diikuti dengan bukti-bukti yang saling berkaitan erat dan tak terpisahkan, berimplikasi kepada kejadian pelanggaran yang masif meruntuhkan sistem penyelenggaraan pemilu. Pemilu yang memang telah dirancang menjadi berat sebelah, yang menguntungkan partisipan yang memiliki akses dan kekuatan media dan informasi," tutupnya.

(Rizka Diputra)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement