JAKARTA - Hakim tunggal sidang praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan (BG), Sarpin Rizaldi mengganggap putusannya terkait gugatan penetapan Komjen BG sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan sebuah penemuan hukum.
Mengacu pada Pasal 10 Ayat (1) dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa hakim wajib untuk mengikuti nilai-nilai hukum di masyarakat dan larangan untuk menolak mengadili, memeriksa, dan memutus perkara karena alasan dasar hukumnya tidak ada.
"Mengacu pada pasal tersebut, bahwa hakim harus memutus perkara meski dasar hukumnya tidak ada," kata Sarpin saat membacakan putusan sidang praperadilan Komjen BG di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (16/2/2015).
Sarpin menambahkan, terkait penetapan tersangka yang termasuk kategori objek praperadilan, ia mendasarkan hal tersebut pada kewenangan hakim dalam penemuan hukum baru di persidangan. Dengan mendasarkan pada keilmuan hukum serta tafsir yuridis, Sarpin menganggap hasil putusannya dapat dipertanggungjawabkan.
"Bahwa kewenangan hakim yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dilakukan dengan metode penemuan hukum yang dikaji secara keilmuan dan secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan," imbuhnya.
Pada titik tersebut, Sarpin menafsirkan bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan. Merujuk pada pendapat ahli filsafat hukum pidana, Doktor Bernard Arif Sidharta saat memberikan keterangan, Jumat 13 Februari lalu, ia mengatakan bahwa penetapan tersangka adalah hasil dari penyidikan.
"Dari situ dapat disimpulkan praperadilan tempat untuk menguji tindakan upaya paksa aparat penegak hukum dalam proses tindakan penyidikan," jelasnya.
Selain itu, Sarpin menolak dalil bantahan yang dijabarkan kuasa hukum KPK yang mengatakan belum melakukan upaya paksa pada Budi Gunawan. Menurutnya, penetapan tersangka terhadap BG termasuk upaya paksa dalam proses penyidikan.
"Pendapat termohon tidak dibenarkan, karena tindakan upaya paksa harus dipahami secara benar," lanjutnya.

Terlebih dalam upaya tersebut, KPK, kata dia tidak melakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan. Proses tersebut, merupakan upaya paksa karena telah malabeli proyustisia dalam proses penyidikan.
Sarpin lantas menyimpulkan bahwa segala tindakan penyidik dan penuntut umum yang belum diatur dalam Pasal 77, Pasal 82, Pasal 95 KUHAP ditetapkan sebagai objek praperadilan dan lembaga hukum yang berwenang untuk mengujinya adalah praperadilan.
"Karena penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan, maka lembaga hukum yang berwenang mengujinya adalah praperadilan," pungkasnya.
(Misbahol Munir)