HEEMSKERK – Di satu sisi, Perjanjian Roem-Roijen yang dimulai pada 14 April 66 tahun silam, jadi satu pijakan tersendiri perdamaian dan penyelesaian sengketa Indonesia dan Belanda. Perjanjian itu juga membawa kedua negara itu ke Konferensi Meja Bundar, di mana akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia (RI).
Tapi sayangnya di sisi lain, Belanda keukeuh tak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945. Sejumlah pejabat parlemen Belanda menolak mengubah pendirian, bahwa negeri kincir angin itu mengakui Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949, pasca-Konferensi Meja Bundar.
Padahal pengakuan kedaulatan Indonesia bisa jadi diakui Belanda melalui Ratu Beatrix pada 1995 silam. Saat itu Beatrix hendak menghadiri undangan Peringatan HUT RI ke-59.
Namun keinginannya itu mendapat tentangan dari Perdana Menteri Belanda, Wim Kok. Alhasil, Beatrix terpaksa mampir sejenak ke Singapura dan baru mendarat ke Indonesia, selang beberapa hari pasca-HUT RI.
Ada dilema tersendiri di pihak Belanda. Menurut Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Jeffry Pondaag, jika mereka mengakui proklamasi 17 Agustus 1945, sama saja mereka mengakui “aksi polisionil”.
Sama saja mereka mengakui bahwa sejumlah satuan elite Belanda, termasuk Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling di Sulawesi serta Bandung, melanggar HAM dengan membantai warga negara lain yang berdaulat.