Di kapal dagang tersebut, sedianya sudah terdapat dua personel ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia, cikal bakal TNI AL). keduanya dipaksa turun oleh para awak kapal Banckert.
Tindakan Belanda itu dianggap mencederai Perjanjian Linggarjati dan terutama wilayah RI, hingga diprotes Residen Tapanuli, Dr. Ferdinand Lumban Tobing, kepada komandan kapal Banckert, Mayor (Laut) G. Kondys. Kapal Benckert kemudian menuruti protes itu untuk meninggalkan Teluk Sibolga keesokan harinya, 10 Mei 1947.
Hr.MS Banckert
Tapi ternyata Benckert kembali lagi dengan membawa dalih bahwa mereka diperintahkan pemerintah NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) menyeret kapal MTS Sembilan (Nanmei) ke Pelabuhan Emmahaven (kini Pelabuhan Teluk Bayur), Padang.
ALRI pun bersiaga untuk mencegah hal-hal buruk dan menempatkan sejumlah penembak di sejumlah posisi di pesisir Teluk Sibolga, termasuk di Bukit Ketapang.
Sementara itu, beberapa perwira ALRI menyatroni Kapal Benckert untuk bernegosiasi, diwakili Kapten Jetro Hutagalung, Letnan Sabar Hutagaklung, Letnan Banggas Lumban Tobing, Letnan Muda Sapiun Tanjung dan Lettu Oswald Siahaan.