Salah satu poin yang diubah Sultan melalui sabda raja adalah menghapus perjanjian antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Menurut Margana, penghapusan perjanjian tersebut sangat tepat karena sudah tidak relevan lagi dibicarakan saat ini.
Penghapusan perjanjian tersebut justru akan dapat menyatukan antara dinasti keturunan Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan untuk menyongsong perubahan baru. Maka itu, perubahan gelar yang disandang Sultan dari Buwono (jagad alit) menjadi Bawono (jagad besar) cukup relevan.
Kemudian penghapusan gelar khalifatullah, menurut Margana, juga untuk menjawab tantangan zaman yang lebih demokratis (tanpa diskriminasi) dan membuka ruang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Penghapusan gelar khalifatullah ini bisa diinterpretasikan bahwa jika seandainya muncul raja dari kalangan perempuan, maka raja tersebut tidak terbebani dengan gelar itu.
"Sebagai bagian dari Republik Indonesia, kita harus memberi ruang dan kesempatan perempuan menjadi pemimpin," katanya.
Keputusan kontroversial lain Sultan HB X yang berdampak positif bagi masyarakat adalah ketika Sultan menolak dicalonkan lagi menjadi Gubernur DIY pada 2007 sebagai dampak tidak kunjung selesainya pembahasan RUUK di DPR RI. Menurut Margana, sikap kontroversial Sultan ketika itu lebih pada sikap gemas Sultan terhadap pemerintah dan DPR RI yang tidak kunjung memberikan keistimewaan kepada Yogyakarta, padahal aspirasi masyarakat telah bulat mendukung keistimewaan.