JAKARTA – Ketua Komnas HAM Nur Kholis menegaskan, jika korporasi di Indonesia ingin go international, kuncinya hanya dua, hormati Hak Asasi Manusia (HAM) dan bebas korupsi dalam berbisnis.
“Kalau mainnya tidak bersih, percuma saja, kita enggak akan pernah bisa bersaing di pasar internasional. Yang ada, lama-lama kita akan semakin dikucilkan,” kata Nur dalam Seminar Nasional Perkembangan Implementasi UN Guiding Principles (UNGP) and Human Rights di Indonesia pada Selasa (19/1/2016) di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.
Menurut Nur, korporasi yang mengejar keuntungan semata tanpa memperhatikan kesejahteraan sumber daya manusianya, perlahan tapi pasti akan bangkrut.
“Tetapi kalau kita lihat trend internasional, perusahaan yang mampu bertahan dari badai krisis dan eksis dalam waktu lama adalah korporat yang mencari untung sambil tetap menghormati ketentuan HAM,” tambahnya.
Ia mencontohkan kasus kabut asap yang beberapa waktu lalu mendera Indonesia, khususnya bagi warga di Sumatera dan Kalimantan. Pada akhirnya, ketika lingkungan dan kemanusiaan diabaikan, perusahaan yang main ‘kotor’ itu akan gulung tikar, dipaksa tutup sama pemerintah dan paling keras adalah dikucilkan dari dunia internasional.
“Apalagi kalau masih harus ditambah dengan praktik korupsi, makin bobrok kita. Coba kalau tidak ada permainan di belakang, pemerintah bisa tegas bilang ke korporasi selesai, tanpa mempertimbangkan ada keuntungan yang didapat mereka dari korporasi,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Harijanto juga menyampaikan optimisme serupa. Ia meyakinkan, perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak perlu takut pengeluaran biaya mahal jika memperhitungkan HAM dalam bisnisnya.
“Pebisnis sering menganggap, kepatuhan HAM akan mengucurkan high cost. Memang akan heavy di tiga sampai empat tahun pertama, tetapi yakinlah bahwa mementingkan sumber daya manusia akan bagus dalam jangka panjang,” tegas Harijanto.
Menurutnya, tantangan Indonesia dengan masuk ke dunia internasional seperti sekarang adalah menjadi negara kedua yang pertumbuhan ekonominya diprediksi meninggi setelah China. Sayangnya, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Tanah Air belum mampu memenuhi standard internasional ISO 26000.
Seperti dikatakan Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran, Kementerian Korupsi dan UMKM, I Wayan Dipta, 57,2 juta pelaku usaha di Indonesia berasal dari unit mikro dan kecil.
“Masih banyak hal yang perlu diperbaiki untuk bersaing di MEA. Antara lain pelatihan implementasiUNGP, green businesses, medical staff, rekayasa bangunan dan serangkain etika bisnis lainnya,” tutur dia.
Dalam acara yang digelar oleh Direktorat Jenderal Multilateral bekerja sama dengan Direktorat HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri ini, turut hadir Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran, Kementerian Koperasi dan UMKM I Wayan Dipta; Ketua Komnas HAM Nur Kholis dan Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Muhammad Sa'bani selaku pembicara. Dimoderatori oleh Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Dicky Komar.
Sementara pada sesi kedua, pembicaranya antara lain Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Harijanto dan Presiden Indonesia Global Compact Network Y.W. Junardy, dimoderatori oleh Kasubdit Hak-Hak Ekonomi, Sosial Budaya dan Pembangunan, Direktorat HAM dan Kemanusian Kementerian Luar Negeri Sulaiman Syarif.
Seminar nasional ini merupakan kelanjutan dari Simposium Nasional mengenai bisnis dan HAM pada 8 September 2015 lalu. Hari ini seminar serupa diadakan kembali guna memantau perkembangan implementasi HAM dalam bisnis di Indonesia.
(Silviana Dharma)