Namun hingga pengambilan sampel kerangka pada 2009, pemerintah pusat maupun Pemerintah Kabupaten Kediri terkesan kompak menelantarkannya. Kuburan pahlawan sekaligus penulis risalah gerakan ‘Naar de Republik Indonesia’ (Menuju Republik Indonesia) pada 1925 berada di tempat pemakaman umum desa dan dalam kondisi tidak terawat.
Padahal sumbangsih Tan Malaka terhadap kemerdekaan Indonesia begitu besar. Bahkan, buku ‘Naar de Republik Indonesia’ menjadi bacaan wajib tokoh pergerakan nasional termasuk Bung Karno, Moh Hatta, dan Sutan Sjahrir. Pemkab Lima Puluh Kota menargetkan proses pemulangan, termasuk pelepasan jenazah tuntas pada 21 Februari 2017.
Pemulangan jenazah akan melalui jalur darat. Rencananya, rombongan akan melintasi kota-kota hingga tiba di tanah kelahirannya. Sebelum disemayamkan di sekitar rumah masa kecilnya, upacara adat Minangkabau akan menyambut kedatangan kerangka jenazah Tan. Beberapa versi menyebut nama Tan Malaka merupakan gelar tertinggi datuk atau pemangku adat Minangkabau di Nagari Pandan Gadang Suliki.
Datuk Sutan Ibrahim menerima gelar Tan Malaka setelah kakeknya meninggal dunia. Yudilfan Habib Dt Monti, salah satu penggagas Tan Malaka Institute melihat negara kurang menghargai keberadaan makam Tan Malaka. Yudilfan mengaku sedih sekaligus prihatin menyaksikan makam Tan berada di bawah bukit dengan kondisi akses jalan yang sulit.
Akibatnya tidak banyak masyarakat luas yang mengetahuinya. “Sepertinya ada yang sengaja mengisolasi kawasan Selopanggung. Khususnya di sekitar makam (Tan Malaka), “paparnya.