Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Demi Harga Diri, Sani Enggan Berharap Pengobatan Gratis untuk Anaknya yang Idap Penyakit Langka

Oris Riswan , Jurnalis-Sabtu, 01 April 2017 |14:43 WIB
Demi Harga Diri, Sani Enggan Berharap Pengobatan Gratis untuk Anaknya yang Idap Penyakit Langka
Muhammad Fahri (kiri) bersama ibunya yang juga mengalami penyakit tulang rapuh (Oris/Okezone)
A
A
A

BANDUNG - Sri Astati Nursani alias Sani (32) mengandalkan pendapatan dari hasil berjualan tisu untuk menghidupi anaknya Muhammad Fahri (11). Ia sering bekerja hingga tengah malam demi mencari biaya pengobatan bocah pengidap osteogenesis imperfect.

Penyakit itu membuat sang anak memiliki tulang yang rapuh karena tidak mampu menyerap kalsium. Akibatnya, sejak usia empat tahun hingga kini sudah lebih dari 20 tulang di tubuh Fahri yang patah.

Setiap bulan, minimal perempuan yang akrab disapa Sani itu harus mengeluarkan Rp3,8 juta. Biaya itu digunakan hanya untuk mengobati Fahri dengan sekali suntikan. Obat itu memang tidak membuat Fahri bisa kembali normal. Tapi setidaknya obat tersebut bisa membuat tulang Fahri sedikit lebih kuat.

Di luar itu, kadang ada biaya lain yang harus dikeluarkan untuk berobat. Sani yang tinggal di kawasan Cibiru, Kota Bandung, itu juga harus menutupi seluruh kebutuhan hidupnya bersama Fahri dan anak bungsunya.

Di tengah segala keterbatasan materi, Sani justru tidak mengharapkan belas kasih dari pemerintah. Ia pun menegaskan tidak meminta pengobatan anaknya digratiskan.

"Insya Allah, walaupun enggak gratis, saya masih bisa kerja untuk menghidupi anak-anak," kata Sani, Sabtu (1/4/2017).

Sebagai seorang muslim, Sani sadar betul dan meyakini bahwa ia dan anak-anaknya akan mendapatkan rezeki. Sehingga atas dasar itu, ia tidak ngotot meminta seluruh biaya pengobatan digratiskan.

Tapi jika ternyata ada bantuan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, ia dengan senang hati akan menerimanya. Jika tidak ada, ia tidak akan mengeluh.

Dalam benaknya, Sani yakin rezeki akan datang jika diupayakan. Sehingga ia memiliki semangat untuk berjualan tisu keliling demi menjemput rezeki.

Selama proses pengobatan, Sani bersyukur selama ini banyak pihak yang membantu. Saat biaya obat yang sekira Rp15 juta per bulan belum mendapat subsidi, ia bisa memenuhinya. Selalu saja ada orang yang membantunya, terutama dari para pemuda masjid yang dikenalnya.

Tapi belakangan ini, biaya obat disubsidi oleh pemerintah. Ia hanya tinggal membayar Rp3,8 juta untuk sekali suntik bagi Fahri setiap bulan. Jumlah itu bagi Sani masih sangat besar. Sebab ia hanya mengandalkan pendapatan dari berjualan tisu.

Tak ada kata mengeluh. Meski harus bekerja ekstra keras, ia jalani semuanya dengan ikhlas. Tapi ada yang dirasa cukup berat baginya. Saat berobat ke RSUD Bandung, ia kesulitan dengan aksesibilitas yang ada di sana.

Sebab ia harus menggendong Fahri dari rumah. Pergi ke rumah sakit pun menggunakan angkot. Di rumah sakit, Fahri pun tetap harus digendong secara hati-hati ke ruang pemeriksaan di lantai dua.

Demi menghindari antrean yang panjang dan memakan waktu, Sani pun lebih sering memeriksakan sang anak melalui jalur umum. Kartu BPJS Kesehatan dan lainnya tidak digunakan.

Alasannya, antrean untuk asuransi kesehatan dari pemerintah membuat sang anak tersiksa. Sebab Fahri tidak bisa duduk dalam waktu lama. Sementara antrean yang ada tidak memungkinkan.

"Saya bukan enggak mau antre, itu memang sudah aturan. Tapi anak saya enggak bisa duduk lama (menunggu antrean)," ungkap Sani.

Belum lagi sang anak harus digendong ke lantai dua yang tidak memiliki lift atau eskalator. Bagi orang lain, hal itu mungkin cukup mudah. Tapi bagi Sani, hal itu jelas berat. Sebab ia juga mengidap penyakit yang sama dengan anaknya. Kedua kakinya sudah melengkung karena patah saat ia masih kecil.

"Akhirnya milih pakai jalur umum aja, alhamdulillah untuk biaya ada donasi dari mana-mana," tuturnya.

Jika dibandingkan dengan obat gratis, jika diberi pilihan, Sani justru lebih memilih diberikan akses yang mudah saat memeriksakan sang anak. Soal biaya berobat, sekali lagi ia mengatakan tidak masalah jika harus membayar. Sebagai seorang ibu yang sayang terhadap anaknya, ia akan berjuang keras mendapatkan uang untuk biaya berobat.

Untuk berbagai pemeriksaan yang selama ini dilakukan, Sani mengucapkan terima kasih pada sejumlah dokter. Sebab beberapa kali proses pemeriksaan dipermudah. Misalnya untuk memeriksa sang anak, Sani tidak melulu harus memeriksakan anaknya di RSUD Ujungberung.

Caranya, sang dokter meminta Sani membawa Fahri ke tempat lain yang jadi tempat sang dokter praktik. Selain akses ke tempat lain lebih mudah, ia bersyukur karena tidak perlu membayar biaya pemeriksaan.

"Alhamdulillah dokter juga banyak yang sayang dan perhatian sama Fahri," ucap Sani dengan mata berkaca-kaca.

(Salman Mardira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement