PADA 30 Agustus 1918, Pemimpin Uni Soviet, Vladimir Lenin baru saja selesai berpidato di Palu dan Arit, sebuah pabrik di Moskow, saat Fanny Kaplan, seorang anggota oposisi dari Partai Revolusi Sosial, melepaskan tiga tembakan ke arahnya. Satu peluru meleset menembus jaket Lenin sementara dua peluru lain mengenai leher dan bahunya.
Beberapa saat setelah penembakan itu, Lenin dilarikan ke rumahnya di Kremlin. Dia khawatir akan ada anggota komplotan Kaplan lain yang berusaha membunuhnya. Lenin juga menolak meninggalkan Kremlin yang aman untuk berobat.
Dokter yang dipanggil untuk merawatnya tidak mampu menarik peluru dari tubuh Lenin tanpa operasi di rumah sakit. Meski mengalami luka parah akibat upaya pembunuhan itu, Lenin berhasil selamat.
Kaplan yang ditangkap setelah melepaskan tembakan diinterogasi oleh Cheka, organisasi keamanan Uni Soviet. Dalam keterangannya, Kaplan menyatakan dia telah lama memutuskan untuk menghabisi Lenin yang menurutnya telah berkhianat pada revolusi.
“Nama saya Fanya Kaplan. Hari ini aku menembak Lenin. Saya melakukannya sendiri. Saya tidak akan mengatakan dari siapa saya mendapatkan revolver saya. Saya tidak akan memberikan rinciannya. Saya telah memutuskan untuk membunuh Lenin sejak lama. Saya menganggapnya sebagai pengkhianat terhadap Revolusi,” demikian isi pernyataan Kaplan pada Cheka.