"Kita juga mengatakan itu sebagai genosida,” ujarnya dalam rapat bersama dengan para diplomat di Dhaka pada Minggu (10/9) dilansir Al Jazeera. Ali mendeskripsikan tindakan kekerasan itu sebagai balas dendam tentara Myanmar menyusul serangan terhadap aparat keamanan pada 25 Agustus silam.
“Apakah semua orang harus dibunuh? Apakah semua desa harus dibakar? Itu tidak bisa diterima,” kecam Ali. Dia menegaskan Dhaka tetap mencari solusi damai, bukan “perang” melawan Myanmar. Komisi Nasional untuk HAM Bangladesh menyerukan agar para pemimpin utama di Myanmar dihadapkan ke Mahkamah Internasional karena melakukan genosida terhadap warga Rohingya.
“Genosida telah terjadi di Myanmar. Kita berpikir untuk mewujudkan proses hukum terhadap Myanmar dan militer Myanmar di Mahkamah Internasional,” kata pejabat Komisi Nasional untuk HAM Bangladesh Kazi Reazul Hoque saat berkunjung ke kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar. Pemerintah Myanmar mengklaim telah membubarkan kerumunan massa di Taung Dwi Gyi dengan menembakkan peluru karet.
Dari perbatasan Myanmar–Bangladesh, ribuan pengungsi Rohingya masih terjebak di perbatasan. Mereka tidak memiliki makanan dan tidak tinggal di tenda pengungsian. Hingga Minggu (10/9), jumlah pengungsi Rohingya tiba di Cox’s Bazar mencapai ratusan ribu orang. Banyak pengungsi masih terjebak di Sungai Naf yang memisahkan Bangladesh dan Myanmar.
Ribuan pengungsi Myanmar juga masih tertahan di Kota Maungdaw, Rakhine. Penduduk Maungdaw mengungkapkan kepada Reuters sekitar 500 rumah kemarin dibakar di kota tersebut. Banyak pengungsi yang kelaparan dan kehausan tidak bisa melintasi perbatasan.
Pasalnya, kerap terjadi bentrokan dengan nelayan Bangladesh yang meminta jasa penyeberangan dengan bayaran senilai USD122 (Rp1,6 juta) atau lebih. Jumlah pengungsi ke Bangladesh diperkirakan akan terus bertambah. Lembaga kemanusiaan dan komunitas lokal juga berjuang keras untuk menghadapi hal tersebut.
(Qur'anul Hidayat)