JAKARTA - Sejak 31 Oktober 2017 lalu, pemerintah mewajibkan setiap masyarakat pengguna ponsel untuk mendaftarkan ulang nomor ponsel dengan menyertakan data berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan identitas dalam Kartu Keluarga (KK).
Pemerintah nampak serius menerapkan ketentuan terkait identitas tunggal nasional, dimana identitas setiap warga negara --termasuk nomor ponsel (telepon seluler)-- nantinya akan terintegrasi dengan NIK yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik masing-masing.
Bahkan, berdasar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 14 Tahun 2017 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, pemerintah telah menyiapkan sanksi berupa pemblokiran nomor bagi para pelanggan yang tak patuh. Sedang bagi operator penyedia jasa seluler, sanksi administrasi hingga pencabutan izin menanti mereka yang tak mengakomodir visi pemerintah.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara menuturkan, registrasi pelanggan yang terintegrasi dengan NIK akan memberikan rasa aman bagi masyarakat. Dengan integrasi identitas, pemerintah berharap dapat menekan angka penyalahgunaan nomor ponsel yang kerap digunakan sebagai alat pendukung tindak kejahatan.
“Sebagai komitmen memberikan perlindungan kepada konsumen serta untuk kepentingan national single identity. Selain itu, manfaat lain adalah adanya keamanan, transparansi dan pelayanan nilai tambah bagi masyarakat" ungkap Rudiantara saat mensosialisasikan peraturan ini.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi meminta pemerintah untuk bersungguh-sungguh mengelola kebijakan ini. Menurut Tulus, para pelanggan layanan seluler terancam dirugikan jika pemerintah kecolongan melindungi kerahasiaan data para pelanggan. Karenanya, Tulus meminta pemerintah menjamin data pribadi pelanggan seluler tidak disalahgunakan.
"Pemerintah harus menjamin bahwa data pribadi milik konsumen tidak disalahgunakan, baik untuk kepentingan komersial dan non komersial tanpa seizin konsumen sebagai pemilik data pribadi," kata Tulus Abadi.
Belajar dari Malaysia
Beberapa waktu hari belakangan, dunia internasional tengah dihebohkan dengan pencurian data pribadi para pengguna ponsel di Malaysia. Tak tanggung-tanggung, data yang berhasil dicuri para peretas (hacker) mencapai 46 juta. Bahkan, pencurian tersebut digadang-gadang sebagai pencurian data pribadi pengguna ponsel terbesar di Asia.
Terkait kasus itu, otoritas setempat, kepolisian dan Badan Regulasi Internet, Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) mengaku masih melakukan penyelidikan lebih lanjut.
"Kami sudah mengidentifikasi beberapa sumber potensial soal kebocoran ini dan kami akan menuntaskan kasus ini segera," ujar Menteri Komunikasi dan Multimedia Salleh Said kemarin, sebagaimana dilansir Bangkok Post.
Selain itu, Cashshield, perusahaan Singapura yang bergerak di bidang keamanan siber mengatakan, dalam banyak kasus, biasanya para peretas mengambil informasi berkualitas dari setiap data yang mereka curi, termasuk NIK, nomor telepon, hingga alamat email beserta kata kuncinya.
"Para peretas ini memiliki informasi berkualitas seperti tanggal kelahiran, nomer kartu identitas, nomer telepon, alamat email dan kata kuncinya," kata Justin Lie, sebagaimana dilansir Straitstimes.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran (UNPAD), Muradi meminta pemerintah belajar dari pencurian data di Malaysia. Sebab, dalam kasus Malaysia, Muradi melihat adanya kemungkinan keterlibatan orang-orang di dalam otoritas dalam kejadian tersebut. Karenanya, pemerintah harus siap untuk menghadapi berbagai potensi kecolongan terkait perlindungan data masyarakat.
"Dengan melihat Malaysia, saya harap kita bisa lebih sadar untuk memproteksi, sadar pentingnya keamanan soal ini," kata Muradi kepada Okezone, Jumat (3/11/2017).
"Saya kira bukan sekadar dijebol ya. Saya kira hal-hal internal error itulah yang kemudian melibatkan orang-orang di dalam juga. Karena kalau melihat polanya kan seharusnya itu terproteksi dengan baik. Itu butuh langkah yang agak serius ya," tambahnya.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kecolongan, Muradi mendorong Kemkominfo bersama dengan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemendagri) untuk menggandeng instansi lain yang memiliki kapasitas untuk melakukan proteksi terhadap data.
"Kominfo dan kementerian terkait harus bekerjasama dengan teman-teman di BSSN untuk memastikan bahwa data itu terproteksi berlapis-lapis. Dengan cara itu, kita bisa memastikan bahwa data tidak disalahgunakan. Yang jadi masalah kan jika disalahgunakan," tutur Muradi.
Selain melakukan antisipasi dengan cara formal --sinergitas otoritas, pemerintah, dikatakan Muradi harus menyiapkan langkah-langkah informal terkait perlindungan data masyarakat, sebagaimana yang dilakukan banyak negara maju di dunia,
"Seperti di negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat. Itu kan mereka selain menggunakan pertahanan secara formal, mereka juga melakukan informal, misalnya dengan melibatkan para hacker untuk memproteksi itu. Jadi, peperangannya bukan bagaimana mereka angkat senjata, tapi bagaimana mereka bisa melindungi ancaman-ancaman siber terhadap negara," paparnya.
Potensi Kerugian Masyarakat
"Risiko bocor pasti ada. Yang paling utama itu privasi dan penyalahgunaan data," kata Muradi saat ditanya soal potensi kerugian yang mungkin dialami masyarakat jika kebocoran data terjadi.
Menurutnya, perlindungan terhadap privasi dan pencegahan terhadap penyalahgunaan data adalah yang utama. Muradi memaparkan sejumlah kemungkinan yang dapat merugikan masyarakat, kalau-kalau data penting nan pribadi milik mereka bocor.
Jual beli data sendiri telah menjadi komoditas perekonomian baru. Sejumlah pihak kerap terlibat dalam praktik ini. Biasanya, data masyarakat diperjualbelikan untuk berbagai kepentingan, mulai dari politik hingga kepentingan berlandaskan ekonomi.
"Kalau yang lagi laku kan soal politik ya. Kemudian soal penggandaan NIK. Kemudian ketiga, lebih pada kepentingan ekonomi misalnya. Menjual data misalnya untuk menjebol akses ekonomi yang lain, seperti tabungan kita dan lain-lain. Itu kan bisa diputar-putar itu. Banyak dari kita yang pakai password pakai tanggal lahir kan," papar Muradi.
Meski begitu, Muradi meminta masyarakat agar tak terlalu khawatir. Menurut asumsi dasarnya, langkah pemerintah menetapkan kebijakan ini seharusnya telah didasari dengan kesiapan pemerintah untuk melakukan proteksi terhadap data tersebut.
"Buat saya sebenarnya kita yakini saja, ketika negara meminta kita untuk mendaftar ulang, ya asumsi dasarnya negara siap untuk memproteksi data kita. Kan gitu. Nah, kalau terjadi kebocoran, maka negara harus bertanggung jawab," tuturnya.
(ydp)
(Amril Amarullah (Okezone))