JAKARTA - Ketua DPR RI non-aktif, Setya Novanto dijatah Rp2.000 dari satu keping Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) yang kini berujung rasuah. Sebagaimana hal tersebut disampaikan jaksa penuntut umum KPK saat membacakan surat dakwaan Setnov di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Awalnya, Country Manager HP Enterprise Service, Charles Sutanto Ekpradja membeberkan soal harga Automated Fingerprint Identification System (AFIS) merek L-1 yang dikerjakan PT Biomorf Lone. Dalam penjelasannya, Charles Sutanto mengatakan bahwa harga yang ditawarkan PT Biomorf Lone terlalu mahal.
Setelah mengetahui adanya informasi tersebut, Novanto memanggil Johannes Marliem yang merupakan Direktur PT Biomorf Lone, ke rumahnya di Jalan Wijaya XIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan untuk meminta penjelasan terkait kemahalan harga itu.
Johannes Marliem yang dinyatakan tewas pada pertengahan Agustus 2017 lalu, menerangkan bahwa harga AFIS merek L-1 adalah 5 sen dolar AS atau setara dengan Rp5.000 per penduduk atau satu keping e-KTP. Dari harga tersebut, Novanto kemudian meminta diskon sebesar 50 persen.
"Terdakwa (Setya Novanto) kemudian meminta diskon 50 persen," kata Jaksa Ahmad Burhanudin, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (13/12/2017).
Alhasil, Marliem memberikan diskon sebesar 40 persen atau sebesar 2 sen dolar AS dari permintaan Novanto. Diskon 20 persen tersebut setara dengan Rp2000. Diskon tersebut yang diberikan kepada Novanto dan anggota DPR periode 2009-2014 sebagai bagian dari komitmen fee sebesar 5 persen dari nilai proyek e-KTP.
"Terdakwa (Setya Novanto) memahami dan menyetujuinya," jelasnya.
Sekadar informasi, Ketua DPR RI non-aktif, Setya Novanto didakwa secara bersama-sama melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sekira Rp2,3 triliun dalam proyek pengadaan e-KTP, tahun anggaran 2011-2013.
Setya Novanto selaku mantan Ketua fraksi Golkar diduga mempunyai pengaruh penting untuk meloloskan anggaran proyek e-KTP yang sedang dibahas dan digodok di Komisi II DPR RI pada tahun anggaran 2011-2012.
Atas perbuatannya, Setya Novanto didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(Mufrod)