PADANG - Hampir seluruh bagian tubuh Aman Telepon yang berasal dari Buttui Desa Madobag, Siberut Selatan memiliki tato khas Mentawai ditambah dengan pakaian khas Mentawai kabit (cawat) dan ikat kepala luat menambah keindahan sebuah tato atau titi’ disandingkan dengan membawah panah Mentawai.
Bagi warga Mentawai yang mendiami Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang terletak di Samudera Hindia Kota Padang ini, memiliki tradisi merajah tubuh khususnya yang berada di Pulau Siberut di luar Pulau Sipora dan Sikakap. Terutama yang berada di pedalam pulau Siberut seperti Madobag, Simatalu hampir laki-laki dan perempuan yang berusia di atas 60 tahun setiap tubuh mereka tato dengan motif garis lurus, lengkung, silang dan garis lainya.
Tato bagi orang Mentawai dinamakan dengan titi’, nama itu diberikan karena cara membuat tato itu awalnya dengan membuat titik-titik berulang kali sehingga membentuk sebuah garis yang indah. Meski saat ini
Tato yang menghiasi bagian tubuh masyarakat Mentawai memiliki makna dan simbol pada kehidupan dan aktivitas mereka sehari-hari. Misalkan tato matahari yang dibuat di bahu itu menyimbolkan soal kehidupan terang dan malam.
Bagi Aman Telepon, tato yang sudah menjadi abadi ditubuhnya ada makna seperti tato di dadanya merupakan gambar busur panah (rourou) garis warna hitam melengkung dari bahu kanan sampai kiri dan dan dari garis melengkung itu ada lagi gari menurun ke pusar itu adalah anak panah.
"Kakai sai Mantawoi, anai galajetmai masigaba iba, bule ibara nane iba murorou (kami memiliki kebiasaan mencari lauk pauk dengan cara berburu, berburu dengan memakai panah) panah yang kami pakai itu mata panahnya sudah beracun, kalau tidak ada racun buruannya tidak akan mati,” tutur Aman Telepon.
Nah biasanya kalau pemburu ulung itu akan menambah tatonya jenis binatang yang diburuhnya, seperti kalau dia mendapatkan simigi (babi hutan) maka dibagian dadanya akan ditato sesuai dengan jumlahnya, kalau satu yang dapat makan satu juga ditato, begitu juga kalau dapat bilou (monyet) dan sibeu tubu (rusa) bagian dadanya dan bagian perutnya akan ditato simbol binatang hasil buruannya.
“Semakin banyak tato binatang di tubuhnya semakin orang menyeganinya,” ujarnya.

Tato dada laki-laki dan perempuan tidak sama, memang ada tato perempuan di dada tapi simbolnya adalah subba (tangguk) biasanya kaum perempuan Mentawai pergi paliggara (menangguk ikan di sungai).
Kalau tato itu di lengan ada beberapa gari berbentuk duri rotan, kata Aman Telepon, itu gambar duri rotan, bagi masyarakat rotan merupakan tumbuhan penting dalam kehidupannya, mereka bisa membuat oorek (keranjang), roiget (long ayam), bahkan sebelum ada paku rotan biasanya dipakai untuk mengikat tonggak-tonggak rumah.
“Kalau itu tidak ada sebab mereka tidak bisa melakukan itu,” ujarnya.
Di bagian punggung tangan ada motif seperti mata pancing bermata dua dan bermata satu. “Itu simbol pancing memiliki arti untuk mendapatkan ikan-ikan masyarakat Mentawai itu memancing ke sungai dan ke laut, kemudian arti lain pancing itu menyimbolkan orang Mentawai sangat ulet bekerja dan selalu berhasil makanya itu runcing sebagai symbol berhasil,” ujarnya.
Motif tato punggung telapak tangan laki-laki dan perempuan ini sama tidak ada membedakannya yang membedakan cara mereka bekerja namun tujuan yang dicapainya sama. “Kalau tato diwajah itu adalah simbol teggle (parang), garisnya dari pipi bawa melengkung kearah telinga. Namun perempuan tidak ada,” tutur Aman Telepon.
Kemudian di bagian paha dinamakan motif balagau, motif ini hanya dipakai kaum laki-laki balagau merupakan simbol lantai rumah adat Mentawai. Balagau adalah batang ruyung yang sudah dibelah-belah untuk membuat lantai. “Ini hanya bisa dilakukan kaum laki-laki bahwa dia sudah matang dan sudah bisa membuat rumah, bagi kaum perempuan itu tidak dilakukan makanya tidak ada,” katanya.
Kemudian motif di punggung berupa garis tegak dari belakang kepala sampai pinggul dan ada garis melintang di dari bahu belakan kiri ke kanan. “Motif ini adalah motif serepak (cadik), ini merupakan symbol penyeimbang dalam kehidupan selalu arif dan bijaksana dalam memberikan keputusan,” tutur Aman Lauklauk.
Untuk merajah tubuh, Aman mengaku menyiapkan beberapa bahan, pertama adalah lakkuk (tempurung kelapa), lalu tempurung itu diletakan di atas perapian bagian dalamnya menghadap api hingga menghitam dan menghasilkan jelaga.
Lalu bahan selanjutnya adalah tebu yang diperas airnya masuk ke dalam tempurung yang sudah memiliki jelaga kemudian diaduk-aduk air tebu tersebut dengan jelaga hingga kental, itulah tintanya untuk menato tubuh.
Peralatan berikutnya adalah kayu sepanjang 30 sentimeter dengan posisi ujungnya melengkung ke atas, kemudian bagian lekukan itu ditancapkan peniti sebagai jarum, lalu kayu lurus atau batang ruyung yang sudah dihaluskan sebesar ibu jari dewasa sebagai pengetok tongkat jarum.
“Siboiki ara titi’ sikebbukat (dulu nenek moyang ditato) jarum itu bukan dari peniti tapi dari duri batang muntei (sejenis batang jeruk bali), tapi karena perkembanganya sudah ada jarum maka itulah yang dipakai, sebab kalau dengan duri ukurannya lebih besar dan tidak tahan lama,” ungkap Aman Telepon.
Jika ingin mentato orang Mentawai itu harus menyembeli satu ekor babi pada sekali mentato. Mentato juga tidak langsung semuanya karena itu sangat beresiko dan bisa sakit.

Bagi masyarakat Mentawai memiliki waktu jeda sebulan, atau sampai bagian yang ditato tersebut betul-betul sembuh dan sudah dinilai bagus, jika belum maka akan diulangi menato dan kembali memotong babi untuk pesta.
“Jadi setiap mentato tubuh kita selalu memotong babi, seperti saya lakukan jadi setiap bagian tubuh saya selalu ada punen (pesta) memotong babi, tidak hanya itu saja upah sipatiti’ juga diberikan berupa bagian tubuh babi yang sudah dimasak dalam okbuk (lembang bambu) babi, kemudian satu batang durian atau kelapa sebagai oleh-oleh dibawa pulang, tak malabbei masititi’ (tidak mudah mentato),” ujarnya.
Sebelum merajah tubuh terlebih dahulu mengambil lidi dan sudah dioleskan jelaga campur air tebu, kemudian menempelkan ke kulit, itu untuk sebagai pemandu tato. Lalu jarum dan kayu yang sudah ada ujung jarum dicelupkan ke dalam tempurung yang sudah ada jelaga bercampur air tebu. “Maka kita mulai mentato tubuh,” cetus Aman.
Aman Lauklauk ayahnya Aman Telepon, anak muda di Mentawai sudah tidak lagi merajah tubuhnya dengan tato Mentawai, menurutnya ini disebabkan saat masuknya agama di Mentawai pemerintah dan aparat keamanan memusnahkan seluruh atribut kebudayaan Mentawai karena dianggap itu jelek dan primitif.
“Dulu kami dilarang mentato tubuh karena tidak boleh oleh pemerintah kami dianggap primitive,” terangnya.
Setelah adanya pemaksaan memeluk agama tersebut banyak anak muda tidak lagi mentato badan. Selain itu saat ini sudah modern generasi memiliki sekolah tidak ada waktu untuk merajah tubuh. Tak hanya saja merajah tubuh itu sakit dan butuh biaya yang mahal.

Sementara dalam laporan hasil penelitian mendiang Ady Rosa berjudul ‘Fungsi dan Makna Tato Mentawai’ (2000) menyimpulkan, ada tiga fungsi tato bagi orang Mentawai. Pertama, sebagai tanda kenal wilayah dan kesukuan yang tergambar lewat tato utama. Ini semacam kartu tanda penduduk (KTP).
Kedua, sebagai status sosial dan profesi. Motif yang digambarkan tato ini menjelaskan apa profesi si pemakai, misalnya sikerei (tabib dan dukun), pemburu binatang, atau orang awam. Ketiga, sebagai hiasan tubuh atau keindahan. Ini tergambar lewat mutu dan kekuatan ekspresi si pembuat tato (disebut ‘sipatiti’) melalui gambar-gambar yang indah.
Menurt Ady, ada sekitar 160 motif tato yang ada di Siberut. Masing-masing berbeda satu sama lain. Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai belasan tato di sekujur tubuhnya. Di Pulau Siberut saja setiap daerah selalu berbeda motif-motif tato.

Literatur soal tato Mentawai yang ditelusuri Okezone, secara garis besar ada tujuh motif di dada kaum laki-laki dan perempuan yaitu motif Silak Oinan (Siberut Selatan), Muntei (Siberut Selatan), Madobag (Siberut Selatan), Saibi Samukop (Siberut Tengah), Taileleu (Siberut Barat Daya), Sagulubbe (Siberut Barat Daya) dan Saumanuk (Siberut Barat Daya).
Peradaban, generasi muda Mentawai saat ini tidak lagi merajah tubuhnya apalagi ada trauma yang dialami oleh masyarakat Mentawai di era tahun 1970 sampai 1980 dimana pemerintah dan tokoh agama di Indonesia ikut memusnahkan atribut budaya Mentawai termasuk tatonya. Masyarakat pada saat itu dilarang merajah tubuhnya hingga berlahan-lahan meninggal tradisi seperti ditambah lagi perkembangan pendidikan saat ini anak-anak tidak lagi merajah tubuh.
Leniwati Sandora (30) guru salah satu SMP di Sotboyak, Kecamatan Siberut Utara yang merupakan warga setempat menuturkan di tempat dia tinggal saat ini yang memiliki tato Mentawai tinggal empat orang itupun sudah tidak lengkap lagi tidak lagi seluruh tubuh mereka yang ditato. “Di tempat saya ini tinggal empat orang laki-laki yang memiliki tato Mentawai rata-rata mereka sudah lanjut usia, sedangkan yang mudah-mudah disini tidak ada lagi,” tuturnya pada Okezone.
Sementara Esmat Wandra Sakulok (30) pemuda asal Desa Saibi, Kecamatan Siberut Tengah salah satu pemuda yang telah mengecap pendidikan perguruan tinggi ini mencoba kembali merajah tubuhnya dengan tato Mentawai . Menurutnya ada beberapa alasan sehingga kembali merajah tubuhnya meski tidak begitu lengkap tapi bagian dada dan kakinya ditatonya. “Tato Mentawai bagian dari sejarah keberadaan dan hidup orang Mentawai, saat ini hanya tinggal para tetua yang memiliki tato di tubuh mereka.
“Saya suka seni tato. Daripada menggunakan tato modern lebih baik saya gunakan tato Mentawai, sebagai bentuk saya menghargai sejarah Mentawai ikut melestarikan secara realistis di dalam hidupku. Ikut mempertahankan keberadaan dan eksistensi kebudayaan Mentawai sepanjang hidupku, dan mengambil peran tetap meneruskan paham kebudayaan kita sebagai orang Mentawai,” terangnya.
Dia merajah tubuhnya saat berusia 22 tahun, menurutnya rata-rata orang Mentawai itu merajah tubuh pada usia masuk remaja sekitar usia 14 sampai 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan sebagai bertanda masa akil baliknya. “Meski satu pulau Tato Mentawai itu juga berbeda-beda tidak sama motif dan artinya,” pungkasnya.

(Fiddy Anggriawan )