KLATEN - Suasana sepi begitu terasa saat memasuki Desa Sidowarno, Klaten, Jawa Tengah. Tak ada satupun warga yang melintas. Hanya bermodalkan petunjuk jalan yang terpasang rapi di pinggir jalan desa, akhirnya sampailah ke Dukuh yang dituju yaitu Dukuh Butuh, Desa Sidowarno, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Sama seperti di jalan masuk desa, di gapura Dukuh Butuh ini pun terpasang bagan dusun. Dimana di bagan yang terpasang itu, begitu jelas zona-zona home industri. Ada zona home industri membuat mannequin dan zona home industri pembuatan wayang kulit. Setelah memahami pembagian zona home industri di dukuh Butuh, akhirnya sampailah ke pemukiman penduduk.
Meski suasana sepi, namun di teras rumah terlihat warga tengah sibuk dengan aktivitasnya. "Siang ibu maaf mengganggu. Lagi buat hiasan wayang kulit ya bu," tanya Okezone pada seorang perempuan yang terlihat sibuk.

Saat hendak menjawab, tiba-tiba anak yang sedang digendong oleh perempuan bernama Sulastri itu pun menangis. "Bentar ya mas, saya tak gletake (menidurkan) anak saya dulu," ujar Sulastri yang beranjak masuk ke dalam rumah. Selang tak lama kemudian, Sulastri pun keluar.
"Bukan mas, saya bukan lagi buat wayang. Saya lagi buat Mannequin," jawabnya.
"Ooo, saya kira lagi buat wayang bu. Kalau yang di sana, apakah buat wayang bu," tanya Okezone sambil menunjuk dua orang laki-laki yang tengah sibuh di teras rumahnya.
"Bukan, itu juga lagi buat Mannequin. Masnya mau ketempat pembuatan wayang. Biar diantarkan sama suami saya," ujar Sulastri sambil berteriak memanggil suaminnya yang tengah ada di belakang rumah.
"Iki mase tolong anterke ketempate mas Pendi (Ini masnya tolong diantarkan ketempatnya mas Pendi)," ujar Sulastri pada suaminnya.
Setelah menyampaikan apa tujuan Okezone ke Dusun Butuh, akhirnya Okezone pun diantarkan ke rumah Pendi yang ternyata Ketua Karang Taruna Dukuh Butuh yang juga pengerajin wayang.

Saat Okezone tiba di rumah Pendi, ia terlihat tengah serius menggambar sebuat sketsa diatas sebuah kertas. "Perkenalkan saya Pendi, lengkapnya Pendi Istakanudin. Ya beginilah kesibukan saya sehari-hari mas," ujar Pendi mengawali pembicaraan dengan Okezone belum lama ini.
Menurut Pendi, di dusunnya ini ada sekitar 70 pengrajin wayang kulit. Sisanya ada yang membuat Mannequin. Diakui oleh Pendi, pembuatan wayang kulit di Dusun Butuh ini pun terancam tidak berkembang. Dari tahun ketahun, jumlah pengrajin pembuatan wayang kulit pun tidak bertambah tidak juga berkurang.
Pembicaraan sempat terhenti saat keponakan Pendi yang masih kecil menjatuhkan mangkok makanan. "Piye toh le, iki om lagi ono tamu, mbok sing sopan yen ono tamu (Gimana toh nak, ini om lagi ada tamu, tolong yang sopan kalau ada tamu)," ucap Pendi sambil mengambil sapu untuk membersihkan makanan keponakannya yang tumpah.

"Maaf loh mas, keponakan saya ini bandelnya minta ampun," ujar Pendi pada Okezone.
"Tidak apa-apa mas, namannya juga anak kecil," jawab Okezone.
Setelah selesai menyapu makanan keponakannya yang jatuh, Pendi kembali melanjutkan pembicaraannya. Menurut Pendi, tak bertambahnya pengrajin pembuatan wayang di desannya ini disebabkan banyak orang tua yang tak mau anaknya menjadi pengrajin wayang kulit.
Mereka lebih senang anaknya bekerja di pabrik-pabrik yang banyak berdiri di dekat dusunnya atau merantau bekerja di Jakarta. Awalnya, Pendi pun sama dengan pemuda dusunnya. Dirinya juga tidak tertarik dengan usaha pembuatan wayang kulit yang saat itu ditekuni ayahnya. Saat masih kuliah, Pendi bukannya mencari tambahan uang jajan dengan menjadi pengrajin wayang kulit. Tapi Pendi lebih memilih bekerja di pabrik.
Empat tahun lamannya Pendi 'nyambi' bekerja di pabrik hingga lulus kuliah. Setelah lulus kuliah, Pendi memutuskan keluar dari pabrik tempatnya bekerja. Bukannya menjadi pengrajin, Pendi lebih memilih bekerja menjadi marketing.
"Orang dukuh Butuh ini, termasuk saya dulu, lebih condong memilih bekerja di Pabrik, dari pada menjadi pengrajin pembuatan Wayang kulit. Empat tahun kerja di pabrik sampai lulus kuliah, begitu lulus saya milih kerja di marketing," terangnya.
Saat bekerja sebagai marketing inilah Pendi mengaku tersadar. Akhirnya, Pendi memutuskan mengikuti jejak ayahnya menjadi pengrajin wayang kulit. Meskipun keputusannya itu awalnya cukup berat. Pasalnya, banyak godaan dari teman-temannya untuk bekerja di pabrik dibandingkan menjadi pengrajin pembuatan wayang kulit.

"Ayah saya itu generasi kedua dari keluarga saya membuat wayang. Kalau di dusun ini, pembuatan wayang kulit pertama kali itu pada tahun 1965. Tadinya hanya beberapa orang saja yang membuat wayang. Kemudian terus berkembang dan sampai sekarang banyak warga yang tak kerja di luar desa menjadikan wayang sebagai mata pencariannya," terangnya.
Saat sudah terjun menjadi pengrajin pembuatan wayang kulit inilah, Pendi menjadi paham, mengapa orang di dusunnya ini tak mau menjadi pengrajin pembuatan wayang kulit. Selain banyak yang kesulitan mencari bahan bakunya, proses pengerjaannya memakan waktu lama. Sedangkan penjualannya wayang itu sendiri juga membutuhkan waktu.
"Kalau kerja di pabrik itukan satu bulan bisa dapat Rp 3 juta, itukan sudah banyak. Tapi kalau wayang, waktu sudah banyak kebuang, hasilnya kalau laku itu hanya Rp 400 Ribu sampai Rp 4 juta. Ini yang mereka tidak tahu, kalau menjadi pengrajin wayang kulit itu, kerjannya santai. Belum lagi kalau ada yang pesan satu kotak wayang, hasilnya bisa sampai ratusan juta rupiah," terang Pendi.
Namun diakui Pendi, tak mudah untuk bisa memasarkan wayang kulit. Pasalnya, pemesan wayang kulit itupun jumlahnya masih sedikit. Bahkan, dalang wayang sekalipun jarang memesan wayang di tempatnya. karena, mayoritas para pendalang itu bisa bikin wayang sendiri. Baru, bila mereka kesulitan akan bahan baku dan waktu pementasannya sudah sangat mepet, para dalang itu memesannya.
"Bikin wayang itu tak sulit. Yang sulit itu memunculkan seni (rasa cinta) dihati pembuat wayang kulit itu sendiri. Kalau seni tak keluar, maka hasilnya kurang memuaskan dan wayang yang dihasilkan hasil jadinya kasar. Dan pemesan pun bisa kecewa kalau hasilnya kurang memuaskan,"ungkapnya.
Atas dasar itulah, Pendi selalu membuat wayang-wayang kulit miliknya ini dengan rasa cinta terhadap wayang. Hingga saat ini, belum ada satupun yang membeli wayang kulit ditempatnya yang komplain karena wayang buatannya jelek hasilnya.
Menurut Pendi, tak ada rasa persaingan bisnis dengan pengrajin wayang lainnya di dusunnya. Justru sebaliknya, para pengrajin itu saling membantu bila salah satu pengrajin memenangkan suatu tender pembuatan wayang.
Selain batas waktu pengerjaan sangat singkat, hanya tiga bulan harus selesai. Jumlah wayang kulitnya itu sendiri mencapai 150 - 250 buah wayang untuk satu kotak.
"Saya ikut tender dan pengrajin lainnya pun juga ikut tender pembuatan wayang. Meskipun sama-sama ikut tender, tak ada persaingan sama sekali. Bahkan harganya pun tak ada yang dimainkan sama sekali agar menang tender. Siapapun yang menang, pasti yang lainnya juga akan kebagian. Soalnya, kalau mengerjakan satu kotak itu harus banyak orang. Saya kebagian bikin tokoh wayang siapa, dan pengrajin lainnya juga gitu," ungkapnya.
Kendala terbesar di dusunnya ini, hanya di regenerasi pengrajin wayang kulit saja yang masih minim. Sadar akan kondisi tersebut, Pendi mencari cara bagaimana agar warga didusunnya ini tertarik akan dunia pembuatan wayang. Hingga akhirnya dirinya bertemu dengan temannya yang bekerja di Astra. Saat tahu Bandi berkecimpung dipembuatan wayang kulit, temannya itupun menawarkannya untuk mencoba mendapatkan CSR dari Astra agar bisa masuk didalam Kampung Berseri Astra (KBA).

Mulailah Bandi berusaha keras agar dusunnya ini bisa masuk ke dalam program tersebut. Apalagi saingan dusunnya agar bisa masuk kedalam Kampung Berseri Astra itu adalah Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo yang merupakan sentra pembuatan gamelan berskala internasional.
Dia mengaku, pada awalnya tidak bermimpi untuk meraih penghargaan atau sejenisnya. Pendi hanya merasa senang ada pihak-pihak yang peduli dengan dunia pewayangan,
Bersama Kelompok Usaha Bersama (Kube) pengrajin wayang kulit, akhirnya Bandi berhasil meyakinkan Astra bila dusunya itu layak masuk kedalam Kampung Berseri Astra.
"Empat kali dusun kami di survai oleh Astra. Dan Alhamdulillah, akhirnya dusun kami masuk kedalam Kampung Berseri Astra. Sejak itulah, pelan tapi pasti, banyak pemuda didusun ini yang mulai belajar membuat wayang. Tapi baru belajar loh, belum berani untuk menjadi pengrajin. Tapi itu sudah baiklah, dari pada tidak," ungkapnya.
Di sisi lain, salah satu Anggota Kelompom Usaha Bersama (KUBE) Bima Dukuh Butuh, Suraji mengakui, dirinya bersama pengrajin wayang lainnya sudah menjalani profesi membuat kerajinan wayang kulit selama sembilan tahun terakhir. Meskipun berkembang, namun pencapaiannya sedikit dan masih jauh dari harapan.
Sementara itu Kepala Desa Sidowarno, Suwarno menyambut positif program KBA dari Astra Grup. Pihaknya berharap, program ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan mendorong potensi masyarakat.
"Melalui program ini, kami berharap agar industri wayang yang merupakan salah satu mata pencarian pokok warga kami bisa maju pesat," pungkasnya.
(Khafid Mardiyansyah)