Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pendekatan Hukum Inklusif dalam Penanganan Kasus Korupsi

Opini , Jurnalis-Rabu, 23 Januari 2019 |19:05 WIB
 Pendekatan Hukum Inklusif dalam Penanganan Kasus Korupsi
Foto Istimewa
A
A
A

Dalam huruf (e) Pasal 7 Statua Roma di bawah judul Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dilarang melakukan “Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum Internasional.”

Hukumnya menyebutkan bahwa seseorang yang diduga melakukan kejahatan “wajib dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya dalam persidangan yang dilakukan secara jujur dan adil.” Ini adalah azas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Hal ini sejalan dengan Pasal 8 UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Bahkan dalam butir (2) Pasal 55 Statuta Roma disebutkan bahwa orang yang diperiksa mempunyai hak “Untuk diberi tahu, sebelum diperiksa, bahwa ada alasan untuk percaya bahwa ia telah melakukan suatu kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah.”

Dengan ketentuan-ketentuan hukum Internasional di atas, saya mencoba menelaah proses penyelidikan, penyidikan dan persidangan kasus mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman, sebagai bahan pembelajaran untuk menegakkan hukum secara berperikemanusiaan dan berperikeadilan, sesuai tema Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 29 Desember 2018 dan acara Bedah Buku Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman yang diadakan pada 22 Januari 2019 di UII.

Proses penangkapan Irman Gusman pada 16-17 September 2016, tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan di atas. Ia ditangkap tanpa surat penangkapan, bahkan surat penangkapan yang dibawa petugas KPK malam itu atas nama orang lain yang sebetulnya sudah dihukum sebagai tahanan kota di Padang. Hal ini berlawanan dengan Pasal 7 UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Menurut penasihat hukum Dr. Maqdir Ismail, ketika Irman harus menjalani pemeriksaan kesehatan dan oleh karena itu tidak bersedia diperiksa, penyidik KPK menetapkan bahwa Irman membangkang. Padahal Pasal 67 Statuta Roma tentang Hak-Hak Tertuduh menyebutkan bahwa seseorang “Tak boleh dipaksa untuk bersaksi atau untuk mengaku bersalah dan untuk tetap diam, dan kebungkaman atau sikap diam tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai suatu pertimbangan dalam penentuan kesalahan atau tidak bersalah.”

Dalam banyak kasus kita menemukan bahwa penegak hukum sering memaksa targetnya untuk mengaku salah di luar kehendaknya. Dalam kasus Irman Gusman, putusan hakim bahkan memvonis bahwa Irman “tidak mengakui kesalahannya secara terus terang” padahal ungkapan demikian menunjukkan bahwa hakim ingin menggiring orang yang merasa diri tak bersalah untuk mengaku bersalah.

Satu kejanggalan lain yang saya temukan dalam kasus Irman Gusman adalah adanya putusan hakim yang melebihi dakwaan jaksa. Sesuai ketentuan undang-undang, hakim tidak dibenarkan memutus apa yang tidak didakwakan jaksa, karena harus menggali kebenaran dari setiap fakta persidangan sesuai UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement