Pasal 74 Statuta Roma di bawah judul Syarat-Syarat Pengambilan Keputusan menyebutkan bahwa putusan hakim “tidak boleh melebihi fakta-fakta dan keadaan yang digambarkan dalam tuduhan dan setiap amendemen terhadap tuduhan tersebut.”
Hakim dalam amar putusannya menyebutkan bahwa Irman terbukti bersalah memperdagangkan pengaruhnya atau mempengaruhi Kepala Bulog untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Padahal tuduhan tentang perdagangan pengaruh itu sama sekali tidak didakwakan oleh jaksa, sementara perdagangan pengaruh (trading in influence) meski sudah diratifikasi dengan UU No.7 Tahun 2006 belum dijabarkan ke dalam pasal-pasal sanksi pidana, baik dalam UU Tipikor maupun dalam KUHP.
Apalagi, dasar hukum yang digunakan hakim adalah Pasal 12 huruf (b) UU Tipikor yang mencantumkan hukuman bagi pejabat negara yang menerima sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya atau berlawanan dengan tugasnya. Jabatan Ketua DPD RI tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan distribusi gula yang merupakan kewenangan Bulog.
Kenapa kerancuan seperti ini sering terjadi dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi? Jawaban saya sederhana, yaitu karena hukum di negeri kita hanya menggunakan kacamata kuda, hanya menggunakan teks-teks yang mati itu tetapi hakim gagal menghidupkan aturan tertulis itu dalam konteks yang lebih luas yang saya namakan paradigma hukum inklusif.
Dalam paradigma hukum inklusif, harus dipertimbangkan semua aspek keadilan dalam mengadili perkara, termasuk rekam jejak tertuduh. Apakah orang itu memang sudah terbiasa melakukan korupsi seperti yang dapat dilihat dari rekam jejaknya? Juga aspek mens rea atau niat jahat. Apakah seseorang yang dituduh melakukan korupsi itu benar-benar mempunyai niat jahat hanya untuk menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain?
Dalam kasus Irman Gusman, saya tidak melihat adanya mens rea. Malah sebaliknya, sebab awal kasus ini adalah justru niat baik Irman untuk menurunkan harga gula yang melambung tinggi di Sumatera Barat. Niat baik seperti ini ternyata tidak dipertimbangkan dalam persidangan, sehingga penegakan hukum hanya berurusan dengan mencari kesalahan orang, tetapi jasa-jasa orang tidak dianggap sama sekali.
Azas due process of law pun tidak diindahkan, mulai dari penggelaran konperensi pers yang mempermalukan Irman dan keluarganya sampai digugurkannya upaya pra-peradilan dan penetapan hukuman tambahan yang tidak sesuai dengan azas hukum yang benar. Hukuman tambahan terhadap Irman yaitu pencabutan hak politiknya selama tiga tahun sejak ia selesai menjalani pidana pokoknya selama 4 tahun 6 bulan itu bertentangan dengan Pasal 38 KUHP yang mengatakan bahwa hukuman tambahan dihitung mulai sejak pidana pokok diberlakukan.
Catatan lain yang perlu dikemukakan di sini adalah penggunaan mekanisme penyadapan oleh KPK untuk menjerat targetnya. Penyadapan semestinya bisa digunakan sebagai alat preventif guna mencegah terjadinya tindak kejahatan. Tapi yang terjadi justru instrumen pencegahan ini tidak digunakan untuk mencegah malah untuk menjerat dan menghukum.