Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Ruang Publik Jangan Sampai Diisi Narasi Pemecah Belah Bangsa

Achmad Fardiansyah , Jurnalis-Jum'at, 31 Mei 2019 |22:59 WIB
Ruang Publik Jangan Sampai Diisi Narasi Pemecah Belah Bangsa
Diskusi Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (Foto: Ist)
A
A
A

JAKARTA - Polarisasi masyarakat belakangan terlihat berjalan beriringan dengan momentum demokrasi, ditambah bertebarannya hoaks, provokator aksi 22 Mei, dan lainnya. Hal itu bisa menjadi ancaman, sehingga diharapkan ruang publik tidak diisi dengan narasi yang memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

"Hati-hati diprovokasi, ruang publik jangan disalahgunakan. Yang tadinya jadi alat kritik menjadi alat kerusuhan," ujar Ketua Umum PB HMI, Saddam Al Jihad di acara Buka Bersama dan Tausyiah Kebangsaan bertajuk "Memotret Peristiwa Kerusuhan 22 Mei, Sebuah Refleksi" di Sekretariat Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2019).

Munculnya ajakan referendum Aceh, Sadam pun menyayangkannya, karena digaungkan di ruang publik. Menurutnya, itu upaya penggiringan opini yang tidak boleh dibiarkan. Ia pun mengimbau masyarakat terutama generasi mudah untuk tidak mudah terprovokasi dengan isu yang mengancam masa depan bangsa.

"Saya sebagai Ketum PB HMI mengajak generasi milenial memikirkan masa depan kebangsaan kita," ujarnya.

(Baca Juga: Kapolda Kalsel: Polisi yang Amankan Pemilu Jihad bagi Negara)

Ilustrasi

Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Najih Prasetyo menuturkan, generasi muda merupakan yang paling mudah terpengaruh, apalagi terhadap pernyataan tokoh politik yang membawa simbol agama. Polarisasi masyarakat pun semakin tajam.

Ia menyebut dua tokoh politik yang sering membawa simbol-simbol agama, ada Yusuf Martak dan Eggi Sudjana. "Dalam konteks itu hampir mayoritas tokoh-tokoh Islam itu justru kiblatnya terhadap orang-orang baru yang membawa simbol-simbol Islam. Yusuf Martak dan Eggi Sudjana ini simbol-simbol baru, simbol kekuatan yang menganggap mereka representatif. Ini berbahaya," katanya.

Mestinya umat Islam lebih banyak mendengarkan pernyataan ulama yang peranannya sudah terbukti membangun kesadaran masyarakat tentang kebangsaan. "Banyak tokoh-tokoh yang bermunculan tanpa terdeteksi sebelumnya bagimana dan kepentingan politiknya bagaimana. Kenapa dia bisa menjadi tokoh centeral dalam gerakan yang mengatasnamakan Islam. Ini kan yang belum ditracking anak-anak muda. Ini berbahaya menurut saya," ujarnya.

(Baca Juga: Pengacara: Soenarko Tidak Pernah Mengangkut Senjata M16)

Ketua Umum DPP GMNI Robaytullah K. Jaya menambahkan, setiap ada provokasi elit politik, yang menjadi korban adalah rakyat. Bisa dilihat saat peristiwa kerusuhan dan kekerasan pada aksi 21-22 Mei, mereka termakan isu people power.

"Itu bukan gerakan people power karena syarat meterialmya tidak ada, apalagi hanya segelintir orang hanya karena perbedaan pemilu. Saya mengamati, yang saya sayangkan itu banyak pedemo tidur di trotoar jalan tidur di masjid, tapi elitnya tidur hotel bintang lima," tuturnya.

Ia bersama Kolompok Cipayung Plus menegaskan, akan terus memberikan advokasi agar masyarakat tidak termakan provokasi dan hoaks. "Kami akan memberikan informsi yang sesuai dengn keadaaan. Biar masyarakat mendapat informasi yang sebenar-benarnya," tuturnya.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement