Penyunatan pada laki-laki biasanya lebih umum di negara yang memiliki mayoritas Muslim atau Yahudi, dan jarang sekali terjadi di negara yang memiliki mayoritas Katolik.
Dalam satu dekade terakhir prosedur ini memunculkan kontroversi yang melahirkan gerakan anti-sunat yang sudah berkembang di seluruh dunia.
Para pengkritik sunat berpendapat bahwa dalam sudut pandang medis, praktek tersebut tidak harus dilakukan dan karena sebagian prosedur tersebut dilakukan pada masa kecil, maka sunat merupakan pelanggaran hak-hak anak karena mereka tidak dapat menolaknya.
“Saya berpikir hal tersebut boleh saja dilakukan pada umur 18 atau 19 tahun karena mereka dapat menentukan pilihan mereka setelah berpikir panjang,” kata Dokter John Geisheker yang merupakan juru bicara kelompok tersebut.
“Namun jelas anak laki-laki yang berumur 10 tahun dipaksa untuk melakukan proses tersebut merupakan tindak penyiksaan anak-anak,” tambahnya.
Penurunan jumlah anak yang melakukan sunat sudah dilaporkan di AS, yang secara historis kegiatan ini dianggap sudah biasa dilakukan.
Berdasarkan laporan WHO, sunat telah terbukti dapat mengurangi risiko terjangkit HIV di daerah epidemi. Bahkan prosedur itu telah dimasukkan sebagai bagian dari program WHO untuk menanggulangi HIV di Afrika Selatan.

Namun, sebagai seorang ahli antropologi, Castro meyakini bahwa sunat memiliki nilai budaya yang sangat spesifik di Filipina.
“Seorang anak yang sudah disunat akan diberikan peran yang lebih dewasa dalam keluarga dan masyarakat.
“Ritual ini biasanya dilakukan secara kolektif. Yakni selalu ada sekelompok anak laki-laki yang tumbuh bersama, masuk sekolah, dan disunat pada hari yang sama” kata Castro kepada AFP.
Biaya yang dikeluarkan untuk sunat di rumah sakit berkisar mulai dari USD40 (sekira Rp570.000) sampai USD240 (sekiraRp3 juta) setara dengan gaji sebulan pekerja di ibu kota.
Untuk anak laki-laki dari keluarga yang tidak mampu, sunat dapat dilakukan dengan gratis yang disponsori oleh pemerintahan, namun sebagian besar orang pergi dengan sukarela dan bangga untuk melakukannya.
(Nico Wijaya)
(Rahman Asmardika)