Dalam situasi itu, lanjut Adrianus, bisa dibayangkan pelaku malu atau bahkan jatuh harga dirinya di depan masyarakat yang sudah dijanjikan anaknya akan bebas.
Kondisi ini bila dihadapi oleh orang yang berkepribadian yang kuat maka akan menyampaikan kepada orangtua pelaku tawuran bahwa sistem tidak membolehkan karena harus diproses, meskipun dia sudah berjanji.
"Itu cara orang yang berkepribadian kuat, tapi pelaku ini (Brigadir RT) mengikuti marahnya, egonya," kata Adrianus.
Baca juga: Penerbitan Izin Senjata Brigadir Rangga Akan Ditinjau Ulang
Menurut dia, ada dua tipe orang, ada yang memiliki kepribadian tidak kuat tapi kontrol terhadap dirinya kuat sehingga ketika terjadi persoalan seperti di atas, maka masalahnya akan dipendam dan diam saja.
Tapi berbeda dengan pelaku yang tidak punya kontrol diri yang kuat dan pribadi yang tidak kuat pula.
"Kalau pelaku dia pribadinya tidak kuat, malu dia, lalu dilarikan menggunakan senjata api secara menyimpang ya udah bablas," kata anggota Ombudsman RI ini.
Oleh karena itu, Adrianus memandang kasus tersebut dari kaca mata individual bukan organisasi Polri. "Karena sebagai organisasi, Polri tidak pernah menyuruh anggota begitu-begituan," katanya.
Baca juga: Brigadir Rangga Tembak Bripka Rahmat dari Jarak Dekat
Adrianus menyebutkan sebagai organisasi, Polri sudah melakukan cara-cara untuk mencegah hal seperti itu tidak terjadi, dengan melakukan penyeleksian di awal, melakukan tes perihal siapa yang boleh dan tidak boleh pegang senjata, memberi pelatihan kepada yang memegang senjata, melakukan penyaringan ketat dan secara mendadak.
"Sehingga, dapat dipastikan orang yang memegang senjata adalah orang yang memiliki kontrol diri, artinya pada tingkat organisasi tidak ada masalah, tapi kalau di tingkat individu ada saja masalah yang menyimpang," katanya.
(Hantoro)