Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

MA Temukan 5 Kendala Persidangan Virtual

Sabir Laluhu , Jurnalis-Senin, 27 Juli 2020 |14:32 WIB
MA Temukan 5 Kendala Persidangan Virtual
Mahkamah Agung (Foto: Sabir Laluhu)
A
A
A

JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) memastikan telah menemukan lima kendala atas pelaksanaan persidangan secara virtual melalui telekonferensi di berbagai pengadilan negeri di seluruh Indonesia.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah menyatakan, MA telah melakukan pemantauan atas pelaksanaan persidangan secara virtual melalui video telekonferensi di berbagai pengadilan negeri yang ada di Indonesia. Dari hasil pemantauan tersebut, kata dia, MA telah menemukan dan memiliki catatan berupa beberapa kendala atas pelaksanaan persidangan secara virtual.

Kendala pertama, ungkap Abdullah, yakni dari sisi terdakwa. Saat persidangan melalui telekonferensi, terdakwa tidak bisa menyampaikan secara utuh dan mengekspresikan semua yang ada dalam pikirannya.

"Namanya diperiksa kan harus menyampaikan dengan ekspresi. Itu kan tidak bisa. Dari pengadilan ini tentu sudah memenuhi kewajibannya untuk semua sarana prasarana teleconference. Tetapi persidangan kan tidak hanya bisa pengadilan saja, tapi harus ada dengan Ditjenpas, dengan penuntut umum," ujar Abdullah saat dihubungi di Jakarta.

Baca Juga: MA Gelar Rapim Matangkan Perma Persidangan Virtual 

Kedua, saat persidangan secara virtual akan berlangsung nyatanya lembaga pemasyarakatan tidak mau menerima tahanan dari luar karena takut terpapar Covid-19. Akibatnya, kata Abdullah, tahanan masih tertahan di Polres, Polsek, dan Polda. Di sisi lain, saat Covid-19 berjalan pun masa penahanan seorang terdakwa yang berada di masing-masing rutan termasuk di Polres, Polsek, dan Polda terus berjalan.

"Masa penahanan berjalan terus nih. Masa penahanan berdasarkan hari kalender. Sementara masa penahanan terbatas. Akhirnya persidangan secara online," tuturnya.

Ketiga, di lembaga pemasyarakatan (lapas) sendiri belum ada fasilitas untuk sidang secara online melalui telekonferensi. Kalau toh ada, kata Abdullah, itu sangat-sangat darurat yang hanya bisa dilakukan pada saat itu. Dari sisi ruangan, pihak lapas baru dapat menyediakan saat persidangan akan berlangsung.

"Tetapi yang di Polda, yang di Polres, yang di Polsek kan tidak dirancang untuk itu. Ya jadi tempatnya pun tidak ada. Kalau toh ada, sangat-sangat darurat. Nah, seperti itu. Sehingga persidangan banyak kendala seperti itu," ungkap Abdullah.

Keempat, masih terkait dengan lapas tapi lebih khusus Lapas Salemba, Jakarta Pusat. Lapas Salemba, ungkap Abdullah, melayani persidangan secara virtual bagi perkara terdakwa yang berasal dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. Di Lapas Salemba pun sangat minim atau bahkan hampir tidak ada ada sarana untuk persidangan secara online.

"Keterbatasan lembaga pemasyarakatan yang ada di Jakarta, Salemba. Lembaga pemasyarakatan di Jakarta itu kan cuman satu yang melayani persidangan online. Sidang secara online jadi satu kan nggak bisa melayani seluruhnya. Padahal, harus melayani sidang online di Jakarta Timur, Barat, Selatan, Pusat, Utara. Nah, ini kendalanya fasilitas yang tidak tersedia," ujarnya.

Kelima, kendala terkait dengan pelaksanaan persidangan secara virtual dari Polsek, Polres, dan Polda. Meski begitu, persidangan tetap dilaksanakan secara telekonferensi apapun keterbatasannya. Abdullah, mengungkapkan, untuk di Polda memang tersedia fasilitas berupa alat dan ruangan yang bisa dipakai. Untuk di Polsek dan Polres, alat yang digunakan adalah telepon seluler.

"Sehingga kalau yang di Polsek hanya bisa menggunakan HP. Itu kan sangat-sangat terbatas. Mereka enggak bisa disalahin, karena kan tidak didesain untuk itu," jelasnya.

Sejak MoU yang diteken MA, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM, dan Kejaksaan Agung, kemudian tiga pihak berupaya mengatasi berbagai kendala yang ada. Abdullah meyakini, berbagai kendala yang ada bisa sedikit demi sedikit diatasi oleh para pihak.

"Memang pada awalnya banyak kendala, tapi saya yakin lama-lamanya juga tidak. Jadi kan semua berusaha," imbuhnya.

Sebenarnya, ujar Abdullah, yang paling bertanggungjawab atas sebuah perkara adalah penuntut umum sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan. Penuntut umum bertanggung jawab menghadirkan terdakwa juga saksi-saksi. Artinya, penuntut umum dalam perkara apapun harus proaktif membantu berjalannya persidangan termasuk secara virtual agar efektif dan efisien.

"Tanggung jawab menuntut itu kan penuntut umum. Semua ada di penuntut umum. Sehingga penuntut umum harus berusaha membantu," kata Abdullah.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement