Meski berada di bekas pusat kerajaan Majapahit, tidak semua orang Trowulan tahu dengan Bubat. Tidak semua orang di sana tahu Bubat itu berlokasi.
Berdasarkan informasi dari warga setempat pula, Aan menemukan tempat yang diduga sebagai Bubat. Bubat bukanlah nama sebuah wilajah administrasi desa atau kelurahan.
Masyarakat menunjuk Bubat sebagai sebuah tegalan, yang pada saat itu sedang ditumbuhi tanaman kacang. Luasnya kira-kira seluas lapangan sepak bola, tetapi bentuknya tidak beraturan.
Nama Bubat hanya diabadikan menjadi nama salah satu gang di sana. Letaknya tidak jauh dari Trowulan. Dengan akses jalan raya Surabaya-Mojokerto, tempat itu bisa dijangkau tidak lebih dari setengah jam saja. Dulu perjalanan bisa memakan waktu dua hari. Karena jalannya masih harus memutar, tidak seperti sekarang.
Pada peristiwa perang Bubat, tidak ada bukti arkeologi. Hingga saat ini, tak ada satupun benda peninggalan perang yang ditemukan.
Peristiwa menyedihkan itu ditulis dalam naskah-naskah kuno Sunda yang ditulis dua abad kemudian. Naskah-naskah itu antara lain, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta.
Sejarahwan Zoetmulder (1974 -1985) berpendapat, kisah itu terdapat pula dalam Kidung Sunda naskah Bali (I Gusti Ngurah Bagus 1991).
Baca Juga : Penemuan Rangka Situs Kumitir Bisa Jadi Pembuka Informasi Manusia Klasik Majapahit
Menurutnya, tempat yang banyak disebut-sebut dalam naskah kuno Sunda itu mungkin bukan terletak di Trowulan.
Berdasarkan hasil foto udara dan ekskavasi situs menunjukkan, Trowulan, pusat kerajaan Majapahit , memiliki banyak parit. Maka mungkin Prabu Hayam Wuruk kesulitan datang ke lapangan Bubat untuk menghadiri upacara keagamaan dan kenegaraan dengan mengendarai kereta yang ditarik enam ekor kuda, seperti diceritakan dalam naskah Negarakretagama.