Sementara Pegiat Sejarah dan Budaya Solo Raya, Surojo mengatakan jika dilihat dari silsilah pergantian Adipati Mangkunegaran, mulai Mangkunegoro II hingga Mangkunegoro IX selalu berubah sesuai dengan situasi. Suksesi di Pura Mangkunegaran tidak selalu dipegang atau menurun kepada anaknya.
Artinya, beberapa keluarga keturunan Mangkunegaran memiliki kesempatan untuk menjadi penguasa atau orang nomor satu di Pura yang didirikan oleh Pangeran Sambernyowo atau KGPAA Mangkunegoro I. “Dalam suksesi di Pura Mangkunegaran tidak mutlak harus putra mahkota dari Mangkunegara sebelumnya,” ungkap Surojo.
Surojo menilai Pura Mangkunegaran merupakan sebuah kerajaan catur sagotro dinasti Mataram Islam yang demokratis. Hal ini dilihat dari pola suksesi yang terjadi sejak Mangkunegara II hingga Mangkunegara IX. Pemilihan Pengageng Pura Mangkunegaran selalu menerapkan pola situasinal sehingga tidak bisa ditebak siapa penerus raja berikutnya. “Diawali dari Adipati Mangkunegoro II, itu merupakan cucu Adipati Mangkunegoro I, jadi bukan anaknya langsung,” paparnya.
Kemudian Adipati Mangkunegoro III dan Adipati Mangkunegoro IV sama-sama cucu dari Raja Mangkunegoro II,” ujar Surojo. Perubahan pola terjadi di suksesi Adipati Mangkunegoro V, yang dijabat oleh anak dari Adipati Mangkunegoro IV. “Kemudian Adipati Mangkunegoro VI, yang menjabat adalah adik dari Adipati Mangkunegoro V, di sini beda lagi polanya,” jelasnya.
Dan Adipati Mangkunegoro VII dan Adipati Mangkunegoro VIII sama-sama anak dari Adipati Mangkunegoro V. Surojo berpendapat jika penerus Penguasa Mangkunegaran bakal dipilih sesuai dengan kebutuhan jaman, bukan kebutuhan kelompok. “Ada beberapa kandidat sebagai penerus tahta Pura Mangkunegaran. Mereka adalah Gusti Paundra, Gusti Bhre, dan KRMH Roy,” pungkas Surojo.
(Angkasa Yudhistira)