“Ini menunjukkan bahwa Pasal 222 selain melanggar konstitusi, juga berpotensi menimbulkan persoalan yang tidak mampu dijawab oleh UU Pemilu. Karena UU Pemilu sama sekali tidak mengantisipasi potensi tersebut,” ucapnya.
Karena sangat mungkin terjadi pasangan calon didukung oleh gabungan partai politik yang mencapai jumlah kursi DPR di atas 80 persen atau di atas 75 persen suara sah secara nasional. Sehingga yang tersisa tidak mencapai 20 persen kursi.
“Begitu pendaftar hanya satu pasang dari awal, maka sesuai UU Pemilu Pasal 229 ayat 2 huruf (a) dan (b), maka KPU akan menolak pendaftaran pasangan tersebut. Artinya apa? Artinya macet. Karena tidak bisa dilawankan dengan kotak kosong. Yang bisa dilawankan kotak kosong apabila salah satu dari dua pasangan calon berhalangan tetap di tengah jalan,” katanya.
Ia menambahkan, situasi tersebut, dapat menjadi dalil untuk melakukan penundaan Pemilu. Modusnya dengan kesepakatan dan kongsi antar-partai politik atau gabungan partai politik sehingga hanya bisa terbentuk satu pasang Capres dan Cawapres sejak awal. Sehingga ditolak oleh KPU, kemudian stuck, macet dan lumpuh.
Pasal 222 tidak mengantisipasi apabila dalam Pemilihan Legislatif pada 2024 nanti terdapat partai politik yang meraup atau memperoleh suara sebesar 75,01 persen suara sah secara nasional.
Seperti pernah terjadi pada Pemilu 1997, di mana Golongan Karya saat itu memperoleh suara nasional sebesar 74,51 persen. Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan memperoleh suara 22,43 persen dan Partai Demokrasi Indonesia memperoleh 3,06 persen suara.
"Lantas, bagaimana dengan Pilpres Tahun 2029 mendatang, di mana dengan menggunakan basis suara perolehan Pemilu Legislatif tahun 2024, yang mana hanya ada satu partai politik saja yang dapat mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres?" tanyanya.