Dirinya mengklaim bahwa KPK melalui fungsi yang dijalankan Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) berupaya untuk mengoptimalkan asset recovery atau pemulihan aset akibat kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
"Baik sejak awal melalui pelacakan aset yang maksimal terhadap harta dan kekayaan yang dimiliki para pelaku korupsi, pengelolaan barang bukti salah satunya agar aset yang disita dan dirampas tidak mengalami depresiasi nilai saat pelaksanaan lelangnya," katanya.
Tak hanya itu, kata Ali, KPK melalui melalui batin jaksa penuntut umum telah melakukan berbagai eksekusi atas putusan pengadilan. Di mana, sambungnya, melalui UU KPK yang baru, kini fungsi eksekusi menjadi tugas pokok KPK. Sehingga jaksa esekutor KPK saat ini juga bisa melakukan penyitaan.
"Langkah-langkah ini sebagai penguatan dan optimalisasi pemulihan kerugian keuangan Negara oleh KPK," katanya.
Ali menyayangkan analisis yang tidak komperehensif dari ICW tersebut. Sebab, hasil analisis tersebut berpotensi membelokkan informasi bagi masyarakat, maupun para pemerhati dan akademisi yang konsen terhadap perkembangan ilmu hukum.
Ali membeberkan, dari hasil statistik penindakan KPK, terlihat jelas bahwa perkara yang ditangani lembaga antirasuah 64 persennya merupakan kasus suap. Atau lebih tepatnya, dari total 1.231 kasus sebanyak 791 di antaranya berkaitan dengan suap.
"Karena, publik penting memahami, tindak pidana korupsi jangan hanya disederhanakan menyoal kerugian keuangan negara," ungkapnya.
(Angkasa Yudhistira)