Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Alkisah Candi Borobudur yang Berulang Kali Hendak di Bom hingga Luluh Lantak

Solichan Arif , Jurnalis-Kamis, 09 Juni 2022 |16:58 WIB
Alkisah Candi Borobudur yang Berulang Kali Hendak di Bom hingga Luluh Lantak
Candi Borobudur/ freepik
A
A
A

JAKARTA- Candi Borobudur ingin dimusnahkan oleh sekelompok orang sejak tahun 1983. Mereka menamakan dirinya sebagai pelanjut cita-cita gerakan Darul Islam (DI) dan jaringan ekstrim kanan lainnya telah menyiapkan aksi pengeboman besar-besaran.


(Baca juga: Breaking News! Polisi Tangkap Pimpinan Khilafatul Muslimin Cirebon Ali Zamroni)

Pada Rabu, 23 Februari 1983, seiring acara peresmian Candi Borobudur yang usai dipugar oleh Presiden Soeharto, bom direncanakan meledak. Target peristiwa itu bukan hanya menghancurkan Candi Borobudur, tapi pejabat negara.

Siang itu dengan hati berdebar, mereka para aktivis DI dan jaringannnya yakni Syahirul Alim, Sudjatmono, dan Marwan Ashuri memantau jalannya aksi melalui saluran radio RRI yang menyiarkan langsung peresmian Candi Borobudur.

Syahirul Alim merupakan aktivis DI yang berasal dari Bandung Jawa Barat. Sedangkan Sudjatmono dan Marwan Ashuri adalah mantan aktivis GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) Jawa Tengah yang dikenal ahli memobilisasi massa.

Mereka berkumpul di rumah Ir. Sanusi, jejaring mereka di Jakarta yang rumahnya disetting menjadi pos jaga Apel Akbar. Namun sampai acara peresmian usai, tak ada kabar berita adanya ledakan bom di Candi Borobudur. Rencana menghancurkan Candi Borobudur gagal. Termasuk rencana Apel Akbar yang akan langsung digelar begitu terdengar kabar Candi Borobudur meledak, juga tak bisa dilanjutkan.

“Tentunya belum takdirnya untuk terjadi, manusia berencana sedangkan kepastiannya di tangan Allah semata, mungkin karena pelaksananya takut atau alatnya macet atau pelaksana itu tidak menemukan jalan yang aman untuk menempatkan bomnya di tempat yang strategis,” dalih Syahirul Alim, seperti tertulis dalam buku “NII Sampai JI, Salafy Jihadisme Di Indonesia”.

Belakangan terungkap kegagalan pengeboman Candi Borobudur disebabkan hal bersifat tekhnis. Dalam Berita Acara Pemeriksaan Muhammad Jabir Abu Bakar alias Gandi alias Deddy di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat disebutkan, kegagalan itu karena mereka tak bisa membuat remote control untuk meledakkan bom dari jarak jauh.

Rencana mengebom Candi Borobudur dan menggulingkan pemerintahan dilanjutkan aktivis LP3K (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pesantren Kilat), yakni kelompok lain yang masih satu jaringan Darul Islam. LP3K merupakan wadah seluruh jaringan BPMI (Badan Pembangunan Muslimin Indonesia) dan para kader pesantren kilat di Jawa Barat dan Jawa Timur.

BPMI adalah tempat aktivis DI, yakni terutama Mursalin Dahlan melakukan kaderisasi. Pada tahun 1984, LP3K bersekutu dengan kelompok Syiah di Malang yang dipimpin Husein Al Habsyi dan Ibrahim Jawad.

Dalam buku “NII Sampai JI, Salafy Jihadisme Di Indonesia”, Solahudin menyebut Husein Al Habsyi mengenal pemikiran Syiah setelah nyantri kepada Habib Husein bin Abu Bakar Al Habsyi pimpinan Pesantren Yayasan Pendidikan Islam (YPI) di Bangil, Pasuruan yang sekaligus tokoh Syiah Jawa Timur.

Sejak bermukim di Malang tahun 1983, Husein Al Habsyi rutin mengadakan majelis taklim di rumahnya. Sementara Ibrahim Jawad yang bernama asli Krisna Triwibowo merupakan mubaligh asal Lawang, Malang yang belum lama pulang dari Iran. Semasa menjadi mahasiswa di kampus Jember, ia rajin mengaji di pesantren YPI Bangil.

Ibrahim Jawad kerap mengisi pengajian di rumah Husein Al Habsyi. Kedua orang sepemikiran tersebut sama-sama terpesona dengan Revolusi Iran dan berniat mempraktikkannya di Indonesia. Para aktivis LP3K mengenal Ibrahim Jawad dan Husein Al Habsyi melalui Muhammad Achwan, aktivis pesantren kilat yang bertempat tinggal di Malang, Jawa Timur.

“Kedua kelompok ini langsung cocok karena punya kesamaan cita-cita menegakkan syariat Islam di Indonesia,” tulis Solahudin. Kedua kelompok (LP3K dan Syiah) kemudian bersepakat menyatukan kekuatan dan memberi nama Ikhwanul Muslimin yang meskipun tak ada hubungan dengan organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Sebuah insiden berdarah yang terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara pada 12 September 1984 semakin membulatkan tekad mereka untuk segera berkonsolidasi dan bergerak. Candi Borobudur harus segera dihancurkan. Selain alasan lambang berhala atau pemujaan, juga sekaligus peringatan kepada keluarga Cendana yang kabarnya telah memegang pengelolaan bisnis Candi Borobudur.

Persiapan lapangan dilakukan Ibrahim Jawad, Abdul Kadir Al Habsyi (saudara Husein Al Habsyi) dan Achmad Muladawilah, yakni salah satu murid Al Habsyi yang dikenal paling galak. Setelah melakukan survei beberapa hari, pemasangan bom di Candi Borobudur berhasil dilakukan.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement