JAKARTA - Diskusi publik terkait kekerasan seksual menjadi massif di Vietnam. Bermula dari seorang bekas jaksa senior Nguyen Huu Linh diduga melecehkan seorang gadis berusia delapan tahun dalam lift di Ho Chi Minh City, pada 2019 lalu.
Aksi kekerasan yang dilakukan mantan jaksa ini terekam CCTV lift, dan tersebar luas. Dalam rekaman itu terlihat bekas pejabat itu memeluk dan menciumi seorang anak yang tak dikenalnya.
Ia dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, dan diadili tanggal 25 Mei 2019. Hanya butuh dua jam bagi pengadilan memutuskan bahwa tidak ada bukti cukup, dan sidang dihentikan.
Kemarahan pun merebak, melalui media sosial. Pelecehan seksual lalu jadi pembicaraan lebih terbuka di di Vietnam.
Selama ini perbincangan soal pelecehan seksual terhenti karena adanya stigma sosial.
"Lima belas tahun lalu ketika kami bikin pernyataan pers soal pelecehan seks, pejabat selalu berkomentar bahwa itu bukan masalah di Vietnam," kata Van Anh Nguyen, Direktur Pusat Studi Ilmu Terapan untuk Gender, Keluarga, Perempuan dan Remaja, dilansir BBC, Jumat (9/9/2022).
BACA JUGA:BNPT Berdayakan Peran Pemuda untuk Tangkal Radikalisme dan Terorisme
Namun kasus terhadap anak delapan tahun ini membuat orang bicara terbuka, termasuk membagikan pengalaman mereka mengalami pelecehan seksual, dan menuntut perubahan yang lebih berarti menyngkut perlindungan terhadap anak dan perempuan dari predator seksual.
Suara korban dan perempuan
Pengakuan Dr. Khuat Thu Hong, Direktur pada Institute for Social Development Studies. Ini untuk pertamakalinya dalam 50 tahun, ia bicara tentang pengalamannya dilecehkan.
Umur saya 13 tahun ketika saya dilecehkan di sebuah pusat perbelanjaan.
Saya sedang melihat-lihat di depan sebuah gerai. Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya berdiri persis di belakang saya. Lalu saya mulai merasa ada sesuatu yang keras menekan punggung saya.
Saya tak tahu itu apa, tapi merasa ada yang keliru. Lalu saya pindah ke gerai lain, ia membuntuti saya dan terus menggesekkan tubuhnya ke saya.
Saya merasa sangat malu lalu kabur dari pusat perbelanjaan itu. Saya tak pernah ke sana lagi.
Sendirian di taksi
Thu, bukan nama sebenarnya, pengguna kursi roda. Ia biasanya bepergian dengan layanan taksi daring.
Suatu hari seorang supir taksi berhenti dan bilang bahwa ia dengan senang hati akan mengantar saya ke rumah. Katanya ia melihat saya menunggu terlalu lama di pinggir jalan.
Awalnya saya menolak, tapi ia tampak antusias dan kelihatan ingin sekali membantu. Di tengah jalan, ia mulai bertanya hal yang bikin saya tak nyaman seperti: "Kenapa kamu tidak menikah?" "Apakah kamu pernah berhubungan seks?"
Ia mengemudi ke daerah sepi lalu menghentikan taksinya. Kemudian ia mencoba meraba dan memegang saya.
Saya melawan, dan mencoba menelepon keluarga saya. Tapi ia mencegah degan memegangi tangan saya. Untungnya saya punya satu telepon lagi di tas, dan dengan itu saya berhasil menelepon teman saya.
Ia kelihatan jadi takut, lalu menghentikan pegangannya. Ia lalu minta maaf dan mengantar saya ke rumah. Maka kini saya selalu membawa tiga telepon genggam untuk melindungi diri.
Saya melihat bagaimana perempuan difabel di VIetnam berjuang lebih keras. Apalagi kadang mereka melahirkan anak dari hasil pemerkosaan.
BACA JUGA:Gelar Muskerwil III, TGB Harap Perindo di Sumut Menang pada Pemilu 2024
Saya harap masyarakat dan pemerintah berusaha keras mencari pemecahan atas soal ini.
'Saya tak akan diam'
Ly, bukan nama sebenarnya, ketika kecil dilecehkan oleh suami sepupunya.
Saya mengadukan ke orang tua saya, tapi mereka mengabaikan karena itu dianggap hanya ungkapan rasa sayang sesama anggota keluarga.
Ketika saya 12 tahun, guru olah raga saya di sekolah juga berusaha melecehkan saya. Ia menyentuh murid-murid perempuan di sekolah, tapi ketika saya akan disentuh, saya kabur.
Lalu saya menulis nama guru itu di papan tulis sebagai protes. Dia marah sekali dan meminta kepala sekolah memanggil orang tua saya ke sekolah.
Ibu saya datang dan meminta maaf, karena saya dianggap telah menyinggung si guru olah raga.
Selama lebih dari 30 tahun, saya dilecehkan berkali-kali dan saya mengadu ke orang dewasa tetapi mereka selalu berdiam diri.
Tapi kejadian di lift dengan gadis delapan tahun itu bikin saya bicara. Saya sekarang punya anak perempuan dan saya ingin melindunginya sebaik-baiknya.
Saya bilang, jangan biarkan orag menyentuh tubuhmu, dan kalau ada yang melakukannya, adukan ke saya. Saya tak ingin seperti ibu saya. Saya tak akan diam.
Beban pembuktian
Bulan Januari 2019, sebuah laporan dari Economist Intelligence Unit menempatkan Vietnam di urutan 37 dari 40 negara dalam soal kemampuan menanggapi pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap anak-anak.
Laporan ini diabaikan oleh pemerintah Vietnam, dan mereka menyebutnya "tidak jelas".
Angka resmi pemerintah meyebut adanya 1.269 kasus pelecehan seksual terhadap anak di tahun 2018, tetapi lembaga swadaya masyarakat khawatir angkanya jauh lebih tinggi.
Ini disebabkan oleh hukum soal kekerasan seksual terhadap anak bersifat mendua, sulit untuk membuat hukuman.
Beberapa bentuk pelecehan seksual tak dianggap kriminalitas dan beban pembuktian ada pada korban.
BACA JUGA:Anies Gratiskan Pajak Bumi Bangunan bagi Keluarga Pahlawan hingga Tiga Generasi
Kemauan politik
Rana Flowers, perwakilan Unicef di Vietnam, menjelaskan "kemauan politik" pemerintah untuk menangani soal ini meningkat, tetapi perangkat hukum masih kurang dalam melindungi dan merawat korban.
Lembaga Perwakilan Nasional Vietnam sedang dalam proses merancang rencana aksi 2020 dalam soal ini.
Bulan Mei lalu, kementrian pendidikan membuat kelas pelatihan wajib untuk pencegahan pelecehan seksual bagi pelajar kelas satu sekolah dasar, yang berumur 6-7 tahun.
Guru-guru menggunakan kartu bergambar untuk mengajarkan anak-anak menghadapi serangan dan bagian tubuh mana yang privat.
Sekalipun menghargai inisiatif ini, Dr. Khuat Thu Hong sebagai seorang korban merasa bahwa pendidikan ini masih menempatkan tanggung jawab pada anak-anak. Seakan-akan beban utama ada pada calon korban agar "tak membiarkan orang menyentuh" tubuh mereka, dan bukan sebaliknya.
(Nanda Aria)