JAKARTA - Dengan memburuknya situasi dunia, suasana genting makin terasa di mana-mana, terutama di seluruh Eropa. Dan ketika bulan September 1939 Hitler mengadakan penyerbuan ke Polandia, pecahlah Perang Dunia II.
Dalam perkembangan situasi seperti ini, masih ada anggapan bahwa Negeri Belanda akan dapat bertahan bersikap netral, tetapi semua orang pun melihat betapa cepat Jerman bertindak.
Melihat keadaan dunia itu, Sultan Hamengku Buwono VIII hanya dapat merasa cemas. Segera dikirimkannya telegram agar semua putranya yang sedang menuntut studi di Belanda pulang selekas mungkin, selagi keadaan masih mengizinkan.
Api peperangan telah berkobar di mana-mana, bahaya pun mengintai setiap saat berupa ledakan bom, granat ataupun ranjau. Tak terkecuali keadaan di samudra sehingga pelayaran jauh dianggap mengandung risiko yang amat besar.
Meskipun demikian, ada satu kapal barang yang masih akan berangkat dari Negeri Belanda ke Nederlands Indie waktu itu. Walaupun sebenarnya kapal "Dempo" adalah pengangkut barang, banyak penumpang yang mendaftarkan untuk ikut pelayaran bulan September itu.
Pejabat Belanda yang menguruskan tiket kapal "Dempo" untuk putra-putra Hamengku Buwono VIII menemukan tinggal satu tempat kosong. Diputuskan bahwa di antara kelima putra Sultan, Dorodjatun akan berangkat lebih dulu.
Pelayaran yang memakan waktu berminggu-minggu, bagi Dorodjatun memberikan banyak kesempatan untuk berpikir. la teringat bagaimana reaksi pertama ketika menerima telegram panggilan dari ayahanda.
Terselip rasa kecewa sejenak karena ia merasa sebagai mahasiswa tingkat doktoral sebaiknya menyelesaikan studi sampai tuntas, lalu pulang membawa gelar yang diinginkan.