JAKARTA - Orang-orang Rapanui memiliki peninggalan unik, yaitu berupa patung-patung monolit raksasa yang dipahat oleh tangan-tangan terampil, warga lokal menyebutnya Patung Moai. Patung-patung moai ini berukuran raksasa dan berada di Pulau Paskah, atau Rapa Nui, sebagaimana penduduk lokal menyebut pulau itu.
Bebrapa patung berjejer rapi. Mereka berdiri setinggi dua lantai dan membelakangi Samudra Pasifik dengan ombaknya yang kuat, rongga mata patung-patung itu kosong, dulu dihiasi dengan karang puting batu skoria merah, menatap terus menerus di sepanjang Pulau Paskah.
BACA JUGA:Ismail Bolong Bakal Dipanggil Bareskrim Terkait Kasus Tambang Ilegal
Tubuh mereka diukir dengan simbol-simbol yang penuh teka-teki. Demikian halnya wajah mereka, dengan alis yang menonjol dan hidung yang memanjang, tampak sangat manusiawi dan ilahi pada saat yang sama.
Setidaknya, 887 patung moai tersebar di Pulau Paskah, atau Rapa Nui. Sebanyak 13 moai berdiri di alas Ahu Tongariki, tempat ritual terbesar di pulau terpencil di Samudra Pasifik, yang menjadi bagian dari negara Chile itu.
BACA JUGA:Sejarah Singkat MI6, Badan Intelijen Kerajaan Inggris
Dengan kepala patung-patung itu yang berukuran terlalu besar dan tubuh tanpa kaki, peneliti sulit membayangkan bagaimana patung monolitik raksasa ini, yang beratnya mencapai 88 ton dan dibangun setidaknya 900 tahun yang lalu, bisa sampai di pulau terpencil ini.
Mereka bertanya-tanya bagaimana moai yang berat ini bisa diangkut secara manual melintasi pulau.
Dilansir dari BBC, Jumat (25/11/2022), beberapa teori telah diajukan, termasuk menggunakan kayu gelondongan untuk menggelindingkan patung, hingga keyakinan adanya bantuan ekstra-terestrial.
Namun, tampaknya rahasianya terletak pada perpaduan desain yang cerdik dan pahatan yang sempurna, yang memungkinkan patung-patung mirip manusia ini berdiri tegak dan bergoyang ke depan dari sisi ke sisi sambil dipandu oleh tali, memberikan patung-patung itu kemampuan untuk "berjalan".
Gerakannya akan serupa dengan gerakan lemari es yang dipindahkan dalam posisi berdiri, dengan masing-masing sisi beringsut ke depan satu per satu.
"Namun Rapanui [masyarakat Polinesia asli yang tinggal di Rapa Nui] melampaui itu dan benar-benar mengukir dasar patung dan menambahkan sudut tertentu sehingga patung itu bergerak lebih baik," jelas Carl Lipo, seorang arkeolog yang mengkhususkan diri pada penelitian mengenai moai dan penulis utama studi tahun 2013 tentang bagaimana patung-patung itu bergerak.
Penelitiannya melibatkan replika patung seberat lima ton yang berhasil “berjalan” menggunakan metode yang dijelaskan sebelumnya.