KABUL – Setidaknya 78 orang tewas akibat kedinginan di Afghanistan selama musim dingin terburuk di negara itu dalam lebih dari satu dekade, kata pihak berwenang, Kamis, (19/1/2023). Kematian akibat flu telah tercatat di delapan dari 34 provinsi di negara itu, kata para pejabat.
Afghanistan dilanda musim dingin terdingin dalam 15 tahun, yang membuat suhu turun hingga -34 derajat Celcius. Ini terjadi di saat negara itu tengah mengalami krisis ekonomi yang parah.
BACA JUGA: 5 Kelompok Bantuan Asing Hentikan Pelayanan Usai Taliban Larang Staf Perempuan Bekerja
Banyak kelompok bantuan telah menangguhkan sebagian operasi dalam beberapa pekan terakhir karena keputusan Taliban bahwa sebagian besar pekerja LSM perempuan tidak dapat bekerja, membuat lembaga tidak dapat menjalankan banyak program di negara konservatif itu.
“Cuaca akan semakin dingin dalam beberapa hari ke depan, oleh karena itu bantuan kemanusiaan untuk korban bencana perlu dipertimbangkan,” kata Abdullah Ahmadi, Kepala Pusat Operasi Keadaan Darurat Kementerian Penanggulangan Bencana, sebagaimana dilansir Reuters.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA) mengatakan pekan lalu bahwa pembatasan pekerja perempuan menghambat upaya pengiriman bantuan.
"Mitra kemanusiaan memberikan dukungan musim dingin kepada keluarga, termasuk pemanas, uang tunai untuk bahan bakar, dan pakaian hangat, tetapi distribusi sangat dipengaruhi oleh... larangan pekerja bantuan LSM perempuan," katanya.
Bahkan di awal musim dingin, petugas kesehatan telah melaporkan peningkatan tajam jumlah anak kecil yang menderita kasus pneumonia serius dan penyakit pernapasan lainnya, sebagian karena kemiskinan yang memburuk yang membuat orang tidak dapat menghangatkan rumah dengan baik.
Sekira 77.000 ternak juga telah mati dalam sembilan hari terakhir, mengancam akan memperdalam kerawanan pangan negara itu.
“Kehilangan mata pencaharian dan aset semakin membahayakan keluarga Afghanistan pada saat 21,2 juta orang sangat membutuhkan dukungan makanan dan pertanian yang berkelanjutan,” kata UNOCHA di Twitter.
(Rahman Asmardika)