PASURUAN - Pada era kolonial Belanda wilayah Pasuruan, Jawa Timur dikenal sebagai pabrik gula. Jumlah pabrik gula di wilayah Pasuruan dibandingkan daerah lainnya.
Sejak 1828 atau 2 tahun Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) berakhir, di Pasuruan terdapat 21 pabrik gula. Hanya dalam waktu 12 bulan, jumlah pabrik gula berlipat menjadi 51.
Pada 1831, yakni setahun setelah Perang Jawa tamat, jumlah pabrik gula di Pasuruan bertambah menjadi 91.
“Produksi gulanya mencapai 29.513 pikul/tahun,” demikian yang tertulis dalam buku Bandit-bandit Pedesaan di Jawa Studi Historis 1850-1942.
Sesuai catatan 1834, saat itu area tanaman tebu yang diikuti pabrik gula di Pasuruan telah menyebar di 8 distrik. Kedelapan distrik Rejoso, Kota Pasuruan, Kraton, Jati, Wangkal, Kebon Candi, Winongan, Grati dan Ngampit. Luas lahan yang bertanaman tebu mencapai 12.514 hektare.
Keberadaan tanaman tebu sebagai bahan baku utama gula sudah lama menguasai area persawahan Pasuruan. Usai tahun 1830 tebu yang sebelumnya menguasai seperlima sawah, telah menggeser keberadaan tanaman padi.
Mayoritas sawah di wilayah Pasuruan telah berubah menjadi kawasan perkebunan tebu. Menyusul itu, di mana-mana muncul industri gula yang sebagian besar dikelola para pengusaha Tionghoa.
Situasi yang ada memudahkan Van Den Bosch menjalankan politik tanam paksa di Pasuruan. Bosch juga melaksanakan konsep bisnis industri gula pemerintah. Pada 1830, sesuai keterangan Residen Domis, Bosch melakukan kontrak kerja dengan sembilan perajin gula.
Enam orang di antaranya pengusaha Tionghoa, dan tiga lainnya pengusaha Eropa.
“Mereka harus menyerahkan 17.430 pikul gula”.
Yang berjalan di Pasuruan selama itu, para pengusaha (perajin gula) mendapat suplai tebu dari penduduk.
Para pengusaha mendapat sokongan bantuan dari kepala desa. Mereka (pengusaha) yang membayar pajak tanah sementara pemerintah kolonial Belanda hanya mengorganisir kuli, transport, pembelian alat, serta pemasaran.
Follow Berita Okezone di Google News