Sementara itu, Kepala Cabang Kamchatka dari Survei Geofisika Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, Danila Chebrov, mempertanyakan prediksi Hoogerbeets dan menggambarkannya sebagai "amatir".
“Hubungan antara pergerakan planet di tata surya dan aktivitas seismik di Bumi agak lemah, dan menggunakannya sebagai alat prognostik utama bermasalah," terangnya.
Pada 3 Februari lalu, Hoogerbeets menuliskan tweet yang menghebohkan jagad maya.
“Cepat atau lambat akan ada gempa berkekuatan 7,5 SR di wilayah ini (Turki Selatan-Tengah, Yordania, Suriah, Lebanon),” cuitnya.
Tiga hari kemudian, gempa berkekuatan 7,8 melanda Turki dan Suriah. Bencana tersebut telah menyebabkan kematian lebih dari 50.000 orang, dengan gempa susulan yang kuat berlanjut di wilayah tersebut hingga hari ini.
Seismolog Belanda Hoogerbeets telah membuat prediksi selama bertahun-tahun yang tidak menjadi kenyataan. Mengomentari prediksinya awal bulan ini, Susan Hough dari Survei Geologi AS bersikeras bahwa tidak ada ilmuwan yang pernah meramalkan gempa bumi besar.
Hough mengatakan kepada NPR bahwa ramalan tepat untuk gempa di Turki dan Suriah hanyalah kebetulan. “Ini jam berhenti yang benar dua kali sehari, pada dasarnya,” katanya.
(Susi Susanti)