GUNUNG Bromo menjadi salah satu gunung suci yang konon dijadikan tempat musyawarah para dewa. Kakawin Pararaton mencatat gunung yang ada di perbatasan empat wilayah ini, namun bukan dengan nama Bromo, melainkan dengan Gunung Lejar.
Konon Gunung Bromo juga memiliki keterkaitan sejarah dengan Ken Arok, sebelum jadi penguasa Kerajaan Singasari. Ken Arok yang dikenal sebagai penjahat beberapa kali melarikan diri hingga akhirnya bertemu dengan nenek dari Panitikan, yang bertugas untuk membersihkan tempat bermusyawarah para dewa di puncak Gunung Lejar setiap hari.
Dikisahkan pada "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit", dari Prof. Slamet Muljana musyawarah para dewa itu konon dilaksanakan setiap hari Rabu Hitam wuku Warigadyan. Konon suatu ketika Ken Arok bermaksud untuk pergi ke Gunung Lejar.
Nenek dari Panitikan sanggup untuk membantunya dan menyembunyikannya jika para dewa datang untuk bermusyawarah. Maka pergilah Ken Arok ke Gunung Lejar bersama nenek dari Panitikan, pada hari Rabu Hitam wuku Warigadyan. Ia disembunyikan di tengah sawah, ditimbuni dengan rumput oleh nenek dari Panitikan untuk mendengar keputusan musyawarah.
Pararaton karangan Mpu Prapanca menyebutkan, "Berbunyilah guntur disertai gempa, tofan serta hujan lebat, pelangi di sebelah timur menampakkan diri terus-menerus. Pada waktu itu terdengar suara gemuruh. Para dewa mengadakan musyawarah.
'Siapa yang akan memperkuat Pulau Jawa? Dialah yang akan menguasai daerah ini! 'Demikian tanya para dewa saling berebut dulu.
'Siapakah yang sebaiknya memerintah Pulau Jawa?' itulah pertanyaan pokok yang diajukan para dewa. Menjawablah Hyang Guru:' Ketahuilah para dewa semua. Itu adalah anakku, seorang manusia keturunan orang Pangkur. Dialah yang akan memperkuat Pulau Jawa!'
Sejarawan menafsirkan Gunung Lejar adalah Gunung Brama atau Gunung Bromo di sebelah timur Singasari. Gunung ini sampai sekarang dianggap sebagai tempat suci, tempat kediaman para dewa. Pada kakinya terdapat berbagai desa seperti Ngadisari, Ngadireja, Wanakerta, Ngadas, Jetak Wanatara dan Sapikerep; semuanya dihuni oleh orang-orang Tengger.
Nama Gunung Lejar itu sendiri dikenal pada prasasti Katiden yang dikeluarkan oleh Hyang Wisesa alias Wikramawardhana pada tahun 1395. Gunung Lejar adalah tempat bersemayam para dewa, dikenal sebagai kahyangan. Orang-orang yang ditugaskan untuk menjaga Gunung Lejar, dibebaskan dari segala macam pajak dan mendapat perlakuan istimewa. Peresmian Gunung Lejar sebagai kahyangan baru dilakukan pada zaman Majapahit.
Satu hal lagi yang menarik perhatian ialah nama desa Panitikan tempat kediaman nenek tua yang mendapat tugas sebagai tukang sapu untuk membersihkan tempat musyawarah para dewa di Gunung Lejar. Nama itu memang perlu dihubungkan dengan apa yang dilakukan oleh Ken Arok yakni mengintip musyawarah para dewa.
Nama itu diturunkan dari kata nitik artinya mengenal. Zaman sekarang Desa Panitikan itu tidak lagi dikenal di daerah Tengger. Mungkin sekali nama itu adalah ciptaan penggubah Pararaton untuk disesuaikan dengan jalan cerita.
Dari kisah di atas, Ken Arok dianggap sebagai putra Bhatara Guru atau putra Bhatara Siwa. Bhatara Siwa biasa juga disebut Girindra atau Girinatha. Jadi Ken Arok dikenal sebagai Girindraputra atau Girinathaputra, atau gelar yang artinya seperti itu dalam masyarakat Tumapel dan Majapahit.
Prapanca dalam Nagarakretagama untuk menyebut pendiri Kerajaan Tumapel juga menggunakan gelar Girindra-atmaja. Girindra-atmasunu, Girinathaputra. Dengan kata lain Ken Arok telah ditakdirkan untuk menjadi raja di Pulau Jawa berdasarkan keputusan musyawarah besar para dewa yang dipimpin oleh Bhatara Siwa.
(Arief Setyadi )