WASHINGTON - Arab Saudi akan menjadi tuan rumah pembicaraan tatap muka pertama pada Sabtu, (6/5/2023) antara tentara yang bertikai di Sudan, setelah beberapa gencatan senjata gagal.
Pernyataan bersama Amerika Serikat (AS)-Saudi menyambut dimulainya "pembicaraan pra-negosiasi" di Jeddah antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter. Pada Jumat, (5/5/2023) beberapa laporan berbicara tentang bentrokan yang terus berlanjut di Khartoum.
Tentara Sudan mengatakan pembicaraan itu bertujuan untuk mengatasi masalah kemanusiaan.
Belum ada komentar resmi dari RSF terkait pembicaraan tersebut, demikian diwartakan BBC.
Tentara mengkonfirmasi telah mengirim utusan ke Jeddah untuk terlibat dalam pembicaraan, yang ditekankan oleh PBB dan badan-badan bantuan, menghadapi krisis kemanusiaan yang mengerikan di Sudan.
Hampir tiga minggu pertempuran sengit telah menewaskan ratusan orang dan menelantarkan hampir 450.000 warga sipil. Dari jumlah itu, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan, lebih dari 115.000 telah mencari perlindungan di negara-negara tetangga.
Komandan tentara Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan - presiden de facto Sudan - terlibat dalam perebutan kekuasaan yang pahit dengan pemimpin RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, lebih dikenal sebagai Hemedti.
Pernyataan dari pemerintah AS dan Saudi mengatakan mereka "mendesak kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kepentingan bangsa Sudan dan rakyatnya dan secara aktif terlibat dalam pembicaraan menuju gencatan senjata dan mengakhiri konflik, yang akan menyelamatkan rakyat Sudan dari penderitaan dan memastikan ketersediaan bantuan kemanusiaan ke daerah yang terkena dampak".
Pernyataan bersama itu juga mengungkapkan harapan untuk "proses negosiasi yang diperluas yang harus mencakup keterlibatan dengan semua pihak Sudan".
Seorang juru bicara Unicef, James Elder, mengatakan 11 hari pertama konflik saja telah menewaskan sekitar 190 anak dan melukai 1.700 - dan angka itu hanya dari fasilitas kesehatan di Khartoum dan Darfur.
"Kenyataannya mungkin jauh lebih buruk," katanya.
Intensitas pertempuran telah mencegah pengiriman bantuan yang sangat dibutuhkan.
Sejauh ini Jenderal Burhan dan Hemedti, yang memimpin milisi Arab dalam konflik Darfur yang brutal, hanya menunjukkan sedikit kesiapan untuk mencapai penyelesaian damai.
(Rahman Asmardika)