JAKARTA - John Lie, seorang Tionghoa asal Manado kelahiran 9 Maret 1911 yang punya nama asli Lie Tjeng Tjoan. Meski seorang Tionghoa, rasa nasionalismenya tak begitu tinggi hingga menjadi salah satu pahlawan nasional.
John Lie kecil hidup berkecukupan karena lahir dari keluarga pemilik perusahaan pengangkutan Vetol Lie Kay Thai. Namun, jiwa petualang membuatnya merantau ke Batavia (kini Jakarta) untuk jadi pelaut.
Kursus navigasi dijalaninya dengan nyambi sebagai buruh pelabuhan. Hingga dirinya menjadi kelasi rendahan di Koninklijke Paketvaart Maatschapij (KPM) atau Maskapai Pelayaran Belanda pada 1929, ketika usianya baru 18 tahun.
Hingga saat Jepang masuk Indonesia pada 1942, John Lie masih berlayar di atas kapal uap MV Tosari pengangkut karet milik KPM. Lantaran Pulau Jawa sudah tak lagi dipegang Hindia Belanda, perjalanan MV Tosari beralih ke Sri Lanka dan kemudian Bombay (kini Mumbai) di India.
John Lie mengenyam banyak pengetahuan tentang kemiliteran di laut saat di India. Pasalnya, MV Tosari diikutkan jadi bagian dari armada logistik sekutu. Tak ayal, John Lie masuk ke kancah Perang Dunia II di bawah naungan Royal Navy (AL Inggris).
Dikutip dari buku ‘Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia’ yang dituliskan Iwan Santosa, MV Tosari saat itu dimasukkan ke Satgas Logistik AL Inggris pada 1942 hingga 1944.
Sepanjang jadi bagian Satgas Logistik AL Inggris di Khoramshar (Iran), John Lie turut mempelajari berbagai ilmu baru. Mulai dari pengoperasian senjata, taktik perang laut, prosedur pengapalan logistik, hingga sistem komunikasi.
John Lie terus mempelajari ilmu tersebut hingga ‘ngelotok’ dalam perjalanan pulang dengan rute Khoramshar-Bombay-Kalkuta-Singapura-Jakarta pada Februari 1946 pasca-Perang Dunia II selesai. Sepulangnya ke Indonesia yang sudah menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, John Lie berniat gabung ke laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) Barian Lautan.
John Lie kemudian disarankan menghadap Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana III Mas Pardi di Yogyakarta.
Berbekal surat pengantar dan referensi dari KRIS dan Menteri Mr Alexander Andries (AA) Maramis, John Lie bisa bertemu KSAL. Bahkan, dirinya sempat ditawari mau pangkat apa.
“John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak,” cetus Laksamana Mas Pardi.
John Lie meresponsnya dengan tegas, “Saya datang bukan untuik cari pangkat. Saya datang mau berjuang di medan laut karena hanya ini yang saya miliki, pengalaman dan pengetahuan laut sekadarnya,”.
Pertemuan singkat itu membuahkan pangkat yang terbilang rendah buat John Lie. Hanya sekadar Matroos Deerde Klaas atau Kelasi III.
John Lie kemudian mengajukan permohonan untuk ditempatkan di Pelabuhan Cilacap karena menganggap, pelabuhan itu strategis sebagai pintu belakang Pulau Jawa.
Permohonan itu dikabulkan dan setelah membenahi Pelabuhan Cilacap, John Lie memulai petualangannya sebagai penyelundup logistik dan senjata. Mengandalkan sebuah kapal cepat zonder (tanpa) senjata PPB 58LB “The Outlaw” dengan 15 anak buah, John Lie dalam kurun waktu 1946-1949.
John Lie tak pernah tertangkap dan sukses menembus blokade Belanda. Saking sulitnya disergap bagai belut oleh kapal-kapal perang Belanda mulai dari jenis korvet hingga destroyer (perusak), media Inggris BBC sempat tebar pujian dengan menjuluki The Outlaw sebagai “The Black Speedboat”.
Wilayah operasinya dimulai dari Aceh Timur, Penang (Malaysia), Phuket (Thailand), Rangoon (Myanmar), hingga Manila (Filipina). Pasokan berbagai jenis senjata, hingga bahkan pesawat angkut yang diselundupkan dari luar ke Indonesia, dianggap vital bagi keterlanjutan perlawanan di berbagai daerah.
Suatu ketika eks Menteri Agama RI Laksamana (Purn) Tarmizi Taher, pernah menyatakan: “Tanpa John Lie, sejarah Indonesia bisa berbeda sekali dengan yang kita tahu sekarang,”.
John Lie berpisah dengan The Outlaw pada 30 September 1949. Sehari pada pelayaran perdana dengan kapten baru, Kapten Laut Kusno, The Outlaw malah dikabarkan ditangkap Belanda.
Usai ditugaskan di Pos Hubungan Luar Negeri di Bangkok, Thailand, John Lie dipanggil kembali ke Indonesia untuk berbagai misi militer.
Seperti pemberantasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Republik Maluku Selatan (RMS), hingga Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perdjuangan Semesta (PRRI/Permesta).
John Lie akhirnya pensiun dengan dua bintang di tanda pangkatnya (Laksamana Muda) pada Desember 1966, . Dia mengubah namanya jadi Jahja Daniel Dharma dan baru menikah di usia 45 tahun dengan Margaretha Dharma Angkuw.
John Lie wafat pada 27 Agustus 1988 setelah penyakit stroke menyerangnya. Jenasahnya dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Presiden kedua RI Soeharto memberinya Bintang Mahaputera Adipradana pada 10 November 1995. Kemudian, gelar Pahlawan Nasional diberikan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.
Namanya juga diabadikan di salah satu kapal Multi Role Light Frigate KRI John Lie (358). Kapal canggih milik TNI AL itu resmi bertugas pada 2014 setelah dibeli dari produsen asal Glasgow, Skotlandia, BAE Systems Marine.
Berbobot 1.940 ton, KRI John Lie (358) mampu berlayar denga kecepatan 30 knot (56 km/jam). Kapal itu dilengkapi persenjataan Oto Melara 76mm, REMSIG 30mm, peluncur misil MBDA, serta dua tabung torpedo 324mm.
Kapal perang yang juga dipasok berbagai radar dan sensor canggih itu juga bisa membawa satu Helikopter S-70B Seahawk di flight deck-nya. Dengan adanya kapal perang ini, NKRI bisa berbangga karena bisa melindungi negeri di lautan.
(Arief Setyadi )