Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mengenal Mbah Adi, Algojo G30SPKI yang Kini Hidup Terbelenggu Rantai

Solichan Arif , Jurnalis-Jum'at, 14 Juli 2023 |08:02 WIB
Mengenal Mbah Adi, Algojo G30SPKI yang Kini Hidup Terbelenggu Rantai
Mbah Adi, algojo penumpas PKI kini dipasung (foto: dok MPI)
A
A
A

SUPARDI alias Mbah Adi, salah seorang yang disegani lantaran menjadi algojo pada era penumpasan G30S PKI. Namun, kini hidupnya berubah usai mengalami ganggung jiwa.

Kini Mbah Adi dianggap aib keluarga, dan terpaksa meringkuk di pasungan selama puluhan tahun, di wilayah Desa Podorejo, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

“Karena badannya yang tinggi besar dan dikhawatirkan membahayakan orang lain, kerabat dan teman memutuskan untuk dipasung,” terang sahabat Mbah Adi, Kusnoto.

Mbah Adi tinggal di bangunan yang hanya berupa empat tiang kayu, dengan selembar terpal usang yang berfungsi sebagai atap pelindung panas dan hujan. Pihak keluarga sengaja menempatkan Mba Adi di sana. Sengaja disembunyikan agar orang lain yang bertandang tidak mudah mengetahuinya.

Tokoh yang pernah memimpin penumpasan pemberontakan G30S PKI 1965, kini terbelenggu dengan rantai sepanjang 5 meter di lantai gubuk, untuk membuat gerak hidup dan merebus air untuk membuat kopi sendiri.

Kondisi Mbah Adi berubah pasca tragedi kemanusiaan Gestapu. Usai menjalankan tugas sebagai algojo pencabut nyawa orang-orang yang dianggap antek dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), Mbah Adi merantau ke Palembang, Sumatera Selatan.

Mbah Adi bersama beberapa rekannya yang juga berasal dari satu desa membuka hutan. Hampir seluruh pepohonan yang berada pada jarak pandangnya ia tebangi. Mbah Adi juga bersihkan semak, onak, dan duri yang dianggap menghalangi.

Saat itu, Mbah Adi tengah menyiapkan lahan yang luas untuk perkebunan kopi. Rencananya ia akan menetap di sana sebagai pengusaha kopi.

“Tujuh tahun kami hidup bersama di Palembang,“ papar Kusnoto.

Kusnoto menambahkan, bahwa gejala aneh mulai terlihat ketika Mbah Adi mengeluh jika dirinya selalu diikuti bulan. Kemana pun dirinya pergi, satelit bumi itu selalu mengikuti langkahnya.

“Itu yang membuatnya gelisah dan selalu mondar mandir setiap malam. Katanya dia tengah menghindari bulan yang terus mengikutinya,“ terang Kusnoto.

Pada saat bersamaan malaria tropis menyerang. Selain Mbah Adi, dua orang rekannya yang ikut membabat hutan juga menderita penyakit yang sama. Satu orang meninggal dunia, dan satu orang lainya tidak diketahui rimbanya. Namun sebelum hilang, warga Desa Podorejo ini juga dianggap tidak waras.

Mansyur, keponakan Adi, mengatakan bahwa pamannya langsung dibawa pulang ke kampung halaman begitu keluarga mendengar dia menderita sakit di perantauan.

“Dibawa pulang sekitar tahun 1973. Pada saat pertama, emosinya tidak terkendali. Selain ngoceh sendiri, masih sering mengamuk,“ ujarnya.

Kondisi ekonomi yang terbatas membuat keluarga tidak bisa banyak memberikan perawatan medis. Dan karena kondisi kejiwaannya membuat Mbah Adi berbahaya bagi masyarakat, keluarga memutuskan untuk memasungnya.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement