PARIS – Prancis telah mengevakuasi warganya dari Niger, dengan penerbangan pertama tiba di Paris, membawa 262 orang di dalamnya. Evakuasi ini dilakukan di tengah meningkatnya sentimen anti-Prancis di Niger menusul kudeta pekan lalu.
Kudeta tersebut telah memicu demonstrasi menentang bekas kekuatan kolonial, dengan kedutaan Prancis diserang.
Namun, Prancis mengatakan tidak memiliki rencana untuk memulangkan sekira 1.000 tentara Prancis yang ditempatkan di sana sebagai bagian dari upaya melawan militan Islam.
Jerman telah mendesak warga negaranya untuk menerima tawaran Prancis untuk membantu orang Eropa lainnya keluar dari Niger. Italia juga dilaporkan telah mengatur penerbangan untuk mengevakuasi warganya dari negara Afrika Barat tersebut.
Pada Senin, (31/7/2023) junta militer di Burkina Faso dan Mali memperingatkan bahwa setiap upaya paksa untuk mengembalikan Presiden Niger yang digulingkan, Mohamed Bazoum, akan dilihat sebagai deklarasi perang.
Kedua negara tetangga Niger itu, yang juga bekas jajahan Prancis, telah pindah menjauhi Prancis dan mendekat ke Rusia, setelah melakukan kudeta sendiri dalam beberapa tahun terakhir.
Peringatan kedua negara itu menandai perubahan signifikan yang dapat meningkatkan situasi yang bergejolak di wilayah yang memerangi pemberontakan militan Islam.
Niger, yang kaya akan uranium, telah menjadi sekutu utama Barat dalam memerangi ekstremisme jihadis di Sahel. Baik Prancis dan Amerika Serikat (AS) memiliki pangkalan militer di sana.
Setelah para pemimpin militer Mali memilih untuk bermitra dengan tentara bayaran Wagner Rusia pada 2021, Prancis memindahkan pusat operasi kontrateror regionalnya ke Niger.
Selain Prancis, negara lain yang berencana melakukan evakuasi warganya dari Niger adalah Italia, yang mengatakan ada sekira 90 orang Italia di Niamey dan kurang dari 500 orang total di Niger. Spanyol juga bersiap mengevakuasi lebih dari 70 warga Spanyol melalui udara, menurut laporan Reuters.
Inggris tidak mengorganisir evakuasi dan mendesak warga negaranya di Niger untuk tetap tinggal di dalam rumah, sementara Uni Eropa mengatakan tidak berencana untuk memindahkan stafnya untuk saat ini.
AS juga mengatakan tidak mengevakuasi warganya, melihat tidak ada ancaman langsung terhadap mereka atau fasilitasnya, lapor AFP.
Situasi di Niamey dilaporkan tenang pada Selasa, (1/8/2023).
Junta Niger menuduh Prancis merencanakan intervensi militer.
Namun pada Senin malam, Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna mengatakan kepada saluran Prancis BFMTV bahwa tuduhan itu tidak benar.
Dia menyarankan kudeta, yang disambut baik oleh kelompok Wagner, dapat dilihat sebagai peluang bagi Rusia: "Saya tidak yakin bahwa setiap orang di Niger tidur dengan bendera Rusia di bawah bantal mereka.
"Tapi ada kemungkinan Rusia mencoba mengambil keuntungan dari situasi ini. Itu terjadi di negara-negara lain di kawasan itu. Itu hipotesis."
(Rahman Asmardika)