''Saya ikut serta dalam pemberantasan kelompok gerombolan. Termasuk dalam pemberantasan PRRI,'' cerita Saikoen.
Beberapa tahun kemudian atau sekira tahun 1963, dirinya kembali ke Kota Palembang, Sumatera Selatan. Kembalinya Saikoen ke Palembang lantaran untuk menjadi pengawal kedatangan Presiden Pertama RI, Soekarno. Saat itu Saikoen berpangkat prajurit satu atau balok dua. Saikoen tergabung di kesatuan pengawal kehormatan II Kodam Sriwijaya.
Ia bersama rekan-rekannya menjadi pengawal kedatangan Presiden dalam peresmian jembatan, yang akhirnya dinamakan Jembatan Bung Karno. Namun, pada 1967, Jembatan Bung Karno berubah nama menjadi Ampera. Hingga saat ini, nama Jembatan Ampera tetap digunakan serta menjadi ikon dari Sumatera Selatan.
''Saya ditugaskan untuk mengawal kedatangan Presiden Soekarno. Saat itu kami yang bertugas sebanyak satu pleton, salah satu di antaranya saya,'' cerita Saikoen.
Perintis PMI
Lima tahun sebelum memasuki masa persiapan pensiun (MPP), tepatnya pada 1979, Mbah Saikoen menjadi salah satu perintis terbentuknya Palang Merah Indonesia (PMI) Bengkulu. Ia bersama tiga rekan lainnya, yaitu Alm Sulaksono Kalkuto, M Nasim BA, dan Rusli Zairin merintis PMI Bengkulu.
Lantaran menjadi perintis PMI di Bengkulu, dirinya mengabadikan nama jalan rumahnya dengan nama gang Jenggalu 7. Angka 7 bermakna sebagai tujuh prinsip PMI. Hingga saat ini jalan gang rumahnya bernama gang jenggalu 7. Meskipun menjadi sosok salah satu perintis terbentuknya PMI di Bengkulu, ia bersama istri hidup dalam sederhana.
''Nama gang itu memiliki makna. Tujuh prinsip PMI. Saya salah satu perintis terbentunya PMI di Bengkulu,'' ujar pria Purbalingga ini.
Dalam perjuangannya memberantas kelompok gerombolan, PRRRI dan PKI, dirinya mendapatkan berbagai penghargaan. Mulai dari pin prajurit Setia VIII, Parjurit Setia XVI dan pin Prjurit Setia XIV. Tidak hanya itu, pin sapta marga, wira darma, dan penegak pun diperoleh Saikoen. Selain itu, penghargaan lainnya yang didapat Mbah Saikoen adalah pin panca warsa I hingga IV, serta pin SAR Rimba Laut.
Berbagai penghargaan itu dia terima. Namun, dirinya belum mendapatkan perhatian dari pemerintah atas perjuangan dirinya semasa itu. Bahkan, dirinya saat ini hanya mengandalkan hidup dari gaji pensiunan. Meski begitu, Mbah Saikoen sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut.
''Saya tidak ada menuntut kepada pemerintah. Saya enggak bisa ngomong soal itu. Yang penting saya sudah berbuat,'' pungkas Saikoen.
(Qur'anul Hidayat)