Salah seorang santri memberanikan diri menanyakan perihal bambu tersebut, ”Niki kangge nopo mbah (ini untuk apa Mbah?). Kiai Imam Khalil lantas menjawab, “Iki kanggo jogo-jogo (ini untuk jaga-jaga)."
Maksud Kiai Imam Khalil membagikan bambu-bambu tersebut baru dipahami para santri ketika tersebar kabar adanya pemberontakan PKI. Masyarakat, kemudian banyak yang sowan untuk meminta bambu kepada Kiai Imam Khalil. Namun, ternyata bambu-bambu itu tidak cukup dan sudah habis dibagi-bagikan.
Kiai Imam Khalil kemudian memanggil semua pengurus pondok dan mengutus mereka untuk mencari sodo aren (lidi pohon aren) sebagai ganti bambu-bambu yang telah habis. Usai mencari kemana-mana hingga ke selatan Kota Tuban, para pengurus yang mendapatkan mandat tugas dari Kiai Imam Khalil tak kunjung mendapatkan sodo aren yang dimaksud. Mereka hanya mendapatkan penjalin (rotan) di jalanan yang mereka lalui.
Kiai Imam Khalil pun berkata, “Yowis penjalin wae” (Ya sudah pakai rotan saja). Akhirnya, Kiai Imam Khalil membeli rotan dalam jumlah sangat besar untuk dibagi-bagikan kepada para santri dan masyarakat sekitar yang meminta. (H Mahfudz Kragan, halaman 129).
Kiai Imam Khalil kemudian membuat celupan rotan di kulah (kolam) pondok lor agar rotan yang dicelupkan memiliki khasiat yang mampu mengusir para pemberontak PKI. Kiai Imam Khalil lantas membaca wirid atau doa khusus dan tak perlu waktu lama, ia meludah di air kulah pondok.
Seketika itu, ia berseru memberikan perintah kepada santrinya yang bernama Hamzawi, “Ayo penjaline jukuki, PKI arep berontak (ayo ambil rotannya, karena PKI mau memberontak)."
“Celupno jeding, celupno jeding (celupkan ke kulah celupkan ke kulah)," seru Kiai Imam Khalil dengan tegas.