“Mereka (sekarang) menerima kematian kita atas dasar hati nurani mereka,” katanya.
Para ilmuwan dari kelompok Atribusi Cuaca Dunia mengatakan konflik di Libya dan pemeliharaan bendungan yang buruk telah mengubah cuaca ekstrem menjadi bencana kemanusiaan.
Ilmuwan mencatat bahwa hingga 50% lebih banyak hujan mengguyur Libya timur karena pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Pada Selasa (19/9/2023), sehari setelah protes, seorang menteri di pemerintahan Libya timur mengumumkan bahwa semua jurnalis telah diminta meninggalkan Derna, dan menuduh mereka menghambat pekerjaan tim penyelamat.
“Jangan ragu, ini bukan tentang kesehatan atau keselamatan, tapi tentang menghukum Dernawis [warga Derna] karena melakukan protes,” kata Emadeddin Badi dari lembaga pemikir Dewan Atlantik, dalam sebuah postingan di X (sebelumnya Twitter).
Selain upaya bantuan internasional yang besar, beberapa wilayah di Libya, yang hingga saat ini merupakan tempat dimana milisi saling berperang, kini mengirimkan sukarelawan dan kendaraan pribadi mereka yang membawa makanan, air, obat-obatan, dan perlengkapan tidur.
Namun para aktivis kemanusiaan memperingatkan akan adanya krisis kesehatan masyarakat dan para demonstran mengatakan mereka membutuhkan lebih banyak bantuan.
Dan karena harta benda mereka yang paling penting tersapu air, mereka juga menginginkan fasilitas pemrosesan didirikan untuk menggantikan paspor dan dokumen identitas yang hilang.
Demonstrasi yang terjadi pada Senin (18/9/2023) di Masjid Sahaba – yang sebagian rusak akibat banjir – adalah yang terbesar sejak banjir melanda, dan ada dugaan bahwa protes tersebut mendapat dukungan institusional.
“Lokasi protes, Masjid Sahaba, biasanya ditutup sebagai bagian dari area penyelamatan – jadi kenapa tiba-tiba semua masyarakat diizinkan pergi ke sana?,” terang Claudia Gazzini dari International Crisis Group di Libya kepada BBC Newsday.
"Itu membuatku berpikir bahwa itu bukanlah ledakan kemarahan yang spontan,” lanjutnya.
(Susi Susanti)