AZERBAIJAN – Azerbaijan telah melancarkan operasi "anti-teror" di Nagorno-Karabakh, dan mengatakan pihaknya tidak akan berhenti sampai separatis etnis-Armenia menyerah.
Ketegangan di Kaukasus Selatan telah meningkat selama berbulan-bulan di sekitar daerah kantong yang memisahkan diri tersebut, yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan.
Seperti diketahui, Azerbaijan dan Armenia terakhir berperang pada tiga tahun lalu.
Baku memerintahkan "formasi militer ilegal Armenia" untuk menyerahkan senjata dan membubarkan "rezim ilegal" mereka.
Azerbaijan dan Armenia pertama kali berperang pada awal 1990-an setelah jatuhnya Uni Soviet. Kemudian pada 2020 Azerbaijan merebut kembali wilayah di dalam dan sekitar Nagorno-Karabakh sebelum gencatan senjata disetujui dan dipantau oleh pasukan penjaga perdamaian Rusia.
Etnis Armenia di Karabakh pada Selasa (19/9/2023) meminta gencatan senjata dan memulai pembicaraan. Namun jelas dari ultimatum Azerbaijan bahwa tujuan Baku adalah menyelesaikan penaklukannya atas wilayah pegunungan tersebut.
Perdana Menteri (PM) Armenia Nikol Pashinyan menuduh Azerbaijan memulai operasi darat yang bertujuan untuk "pembersihan etnis".
Namun ratusan pengunjuk rasa Armenia, yang frustrasi dengan tanggapan negara mereka, bentrok dengan polisi di luar gedung parlemen di Yerevan, mengutuk pemimpin mereka sebagai pengkhianat dan menyerukan agar dia mengundurkan diri.
Azerbaijan mengatakan perundingan dapat dimulai di kota Yevlakh, sekitar 100 km (60 km) utara ibu kota wilayah Karabakh, Khankendi, yang disebut Stepanakert oleh etnis Armenia.
Sejak akhir 2020, sekitar 3.000 warga Rusia telah memantau gencatan senjata yang rapuh tersebut, namun perhatian Moskow telah teralihkan oleh invasi besar-besaran ke Ukraina.
Diperkirakan 120.000 etnis Armenia tinggal di daerah pegunungan tersebut. Rusia mengatakan tentaranya telah memindahkan hampir 500 warga sipil dari daerah yang paling berisiko, sedangkan kelompok separatis mengatakan mereka telah membantu memindahkan total 7.000 warga sipil.
Selama sembilan bulan terakhir, Azerbaijan telah memberlakukan blokade efektif pada satu-satunya jalur masuk dari Armenia, yang dikenal sebagai Koridor Lachin.
Azerbaijan mengatakan pihaknya melancarkan operasinya sebagai tanggapan atas kematian enam orang, termasuk empat petugas polisi, dalam dua ledakan ranjau darat pada Selasa (19/9/2023) pagi.
Sirene serangan udara kemudian terdengar dan suara artileri serta tembakan terdengar di kota utama Karabakh. Bangunan tempat tinggal rusak dan jurnalis Siranush Sargsyan menggambarkan melihat sebuah bangunan di sebelahnya dihantam.
Pejabat Karabakh mengatakan lima orang tewas dan puluhan lainnya terluka, termasuk wanita dan anak-anak.
Para pejabat pertahanan di wilayah yang memisahkan diri tersebut mengatakan militer Azerbaijan telah "melanggar gencatan senjata di sepanjang garis kontak dengan serangan rudal-artileri". Perwakilan Karabakh lainnya berbicara tentang “serangan militer skala besar” meskipun laporan selanjutnya mengatakan bahwa intensitas tembakan telah berkurang.
Kementerian Pertahanan Azerbaijan bersikeras bahwa mereka tidak menargetkan warga sipil atau bangunan sipil, dan bahwa “hanya target militer sah yang dilumpuhkan dengan penggunaan senjata presisi tinggi”.
Mereka menuduh pasukan Armenia melakukan ‘penembakan sistematis’ terhadap posisi tentaranya dan mengatakan bahwa mereka telah merespons dengan meluncurkan kegiatan anti-teroris local untuk melucuti senjata dan mengamankan penarikan formasi angkatan bersenjata Armenia dari wilayah kami mereka.
Dalam pidato singkat yang disiarkan televisi, PM Armenia menolak klaim bahwa militernya terlibat.
Kementerian luar negeri Rusia mengatakan pihaknya telah diperingatkan mengenai serangan Azerbaijan hanya beberapa menit sebelumnya dan mendesak kedua negara untuk menghormati gencatan senjata yang ditandatangani setelah perang pada 2020. Perwakilan khusus regional Uni Eropa (UE), Toivo Klaar, mengatakan ada kebutuhan mendesak untuk gencatan senjata segera.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Rusia dan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyerukan agar Aliyev segera menghentikan aksi militer di wilayah tersebut.
Komentator Kaukasus Selatan Laurence Broers mengatakan pada Selasa (19/9/2023) bahwa populasi Armenia di Karabakh telah dilemahkan oleh blokade dan operasi Azerbaijan telah diluncurkan “tampaknya untuk merebut kembali Karabakh yang berpenduduk Armenia secara keseluruhan”.
Nikol Pashinyan baru-baru ini mengatakan bahwa Rusia “secara spontan meninggalkan wilayah tersebut”. Sementara itu Azerbaijan mendapat dukungan kuat dari sekutunya Turki.
Hikmet Hajiyev, penasihat khusus Presiden Azerbaijan Aliyev, meminta pemerintahan separatis etnis-Armenia untuk “membubarkan diri”.
“Azerbaijan selalu mengatakan kami siap memberikan hak dan keamanan bagi warga Armenia Karabakh berdasarkan konstitusi,” katanya kepada BBC News.
Azerbaijan membantah menambah jumlah pasukan di wilayah tersebut. Pada Senin (18/9/2023), mereka mengizinkan bantuan dari Komite Internasional Palang Merah ke Karabakh melalui dua jalan, satu melalui Koridor Lachin dari Armenia dan yang lainnya melalui jalan Aghdam di Azerbaijan.
Sebelum serangan pada Selasa (19/9/2023) dimulai, ada harapan bahwa ketegangan akan mereda.
Kementerian Pertahanan Azerbaijan merilis gambar sebuah kendaraan yang dikatakan dihancurkan oleh ranjau darat, namun pejabat etnis Armenia mengatakan militer Azerbaijan-lah yang melanggar gencatan senjata.
(Susi Susanti)