YEREVAN - Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan pada Selasa, (19/9/2023) memperingatkan tentang kemungkinan “kudeta” yang akan terjadi di Yerevan. Peringatan itu disampaikan Pashinyan di tengah meluasnya protes yang meletus sebagai tanggapan terhadap meningkatnya ketegangan di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh.
“Seperti yang diharapkan, berbagai pernyataan datang dari berbagai tempat, hingga seruan untuk melakukan kudeta di Armenia,” kata Pashinyan dalam sebuah pernyataan sebagaimana dilansir RT. Dia berjanji untuk menegakkan “hukum dan ketertiban” dan bereaksi sesuai dengan dugaan “upaya kudeta”.
Sebelumnya pada hari yang sama, Azerbaijan mengumumkan penerapan “langkah-langkah kontra-terorisme yang bersifat lokal” di Nagorno-Karabakh, dan menuduh bahwa Armenia diam-diam meningkatkan kehadiran militernya di wilayah yang memisahkan diri tersebut.
Baku menyatakan bahwa mereka secara eksklusif menargetkan instalasi militer di wilayah tersebut, sementara Armenia menyebut eskalasi ini sebagai “agresi skala besar terhadap masyarakat Nagorno-Karabakh,” namun mereka membantah mengerahkan unit apa pun ke wilayah yang disengketakan.
Eskalasi tersebut memicu kekacauan di Armenia, ketika ratusan pengunjuk rasa membanjiri jalan-jalan Yerevan. Mereka berkumpul di jantung ibu kota Armenia dan berusaha mengganggu lalu lintas. Para pengunjuk rasa menyerukan keterlibatan militer Armenia dalam krisis Nagorno-Karabakh, dan menuduh Perdana Menteri Pashinyan sebagai “pengkhianat” terhadap negara mereka.
Nagorno-Karabakh, yang sebagian besar dihuni oleh etnis Armenia, memisahkan diri dari Azerbaijan selama pembubaran Uni Soviet. Pada 1990-an, republik separatis ini mengobarkan perang kemerdekaan melawan Baku, yang secara efektif membangun otonominya dan mempertahankan hubungan yang kuat dengan Yerevan selama bertahun-tahun.
Terlepas dari hubungan ini, Armenia tidak pernah secara resmi mengakuinya sebagai negara merdeka atau melakukan upaya untuk mengintegrasikan wilayah yang memisahkan diri tersebut ke dalam wilayahnya sendiri.
Namun, wilayah yang diperebutkan ini tetap menjadi titik konflik dalam ketegangan yang sedang berlangsung antara Baku dan Yerevan, dan sering kali mengalami konfrontasi militer secara berkala.
Konflik paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir terjadi pada 2020, yang menyebabkan Baku merebut kembali kendali atas sebagian besar Nagorno-Karabakh. Permusuhan berakhir melalui gencatan senjata yang ditengahi oleh Rusia, yang kemudian memfasilitasi penempatan pasukan penjaga perdamaian Rusia ke wilayah yang disengketakan.
Sejak itu, Yerevan berulang kali menuduh Moskow tidak memberikan bantuan militer untuk melawan Azerbaijan dan melanggar kewajibannya. Di sisi lain, Baku menegaskan komitmennya untuk menegakkan ketentuan perjanjian trilateral yang melibatkan Yerevan dan Moskow terkait misi penjaga perdamaian. Mereka menyatakan bahwa mereka memberi tahu pasukan Rusia tentang niatnya untuk melancarkan operasi kontra-terorisme.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan bahwa peringatan Azerbaijan disampaikan hanya “beberapa menit sebelum aksi militer dimulai.”
(Rahman Asmardika)