Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kesaksian Mantan Kader Gerwani: Dulu Dijanjikan Makan Enak dan Rumah Gedong, Saya Gak Ngerti Politik

Khafid Mardiyansyah , Jurnalis-Jum'at, 13 Oktober 2023 |07:28 WIB
Kesaksian Mantan Kader Gerwani: Dulu Dijanjikan Makan Enak dan Rumah Gedong, Saya Gak Ngerti Politik
Sumarti saat menceritakan kisah hidupnya (Foto: Ist)
A
A
A

PARTAI Komunis Indonesia (PKI) di masa kejayaannya tak berhenti menguatkan basis massanya. Salah satunya lewat organisasi sayap Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Sepak terjang organisasi terlarang yang tak terlupakan adalah upaya pemberontakan saat Gerakan 30 September (G30S) 1965. Gerwani tak luput dari kejahatan penculikan, penyiksaan dan pembunuhan para jenderal.

Ada sebuah kisah dari seorang mantan anggora Gerwani, yakni Sumarti. Ia merupakan mantan Srikandi Merah yang menjadi pengasuh anak, dari seseorang bernama Fran Rajendra L. Wirajani.

Pada era 1960-an, Sumarti pernah ikut Gerwani di Jawa Tengah tepatnya di sekitar daerah Gubug. Kala itu, cerita Sumarti, sudah gabung dengan Gerwani “cabang” Semarang sejak awal 1960an.

“Dulu itu di daerah Gubug dan Semarang, banyak orang-orang PKI yang menghasut, merayu perempuan-perempuan kampung untuk ikut Gerwani. Termasuk saya,” kata Sumarti kepada Okezone beberapa waktu silam.

“Dirayu kalau ikut Gerwani, nanti bisa makan enak. Bisa tidur di rumah-rumah ‘gedong’ (hotel). Ikut Gerwani sama yang lain, saya sering diikutkan acara-acara. Mengisi acara dengan tarian, nyanyian (lagu) Genjer-Genjer atau Nasakom Bersatu,” tambahnya.

Meski ayahnya salah satu tokoh lokal Partai Nasional Indonesia (PNI) di Gubug, Sumarti sama sekali tak tahu tentang politik. Hanya karena urusan perut, Sumarti yang usia 16 tahun ikut-ikutan masuk Gerwani.

“Dulu diajak ikut itu (Gerwani) ya cuma karena itu. Enggak ngerti sama sekali soal politik komunis itu kayak apa. Kalau diajak ke acara-acara gitu, biasanya malam dan bapak saya dulu enggak tahu. Saya cuma bilang kalau mau ngaji, padahal ikut acara,” kata Sumarti.

Pada saat di Jakarta terjadi tragedi G30S/PKI, Sumarti yang berada di kampung luput dari kabar tersebut. Sebab, dirinya tak punya radio untuk dengar berita. Ia hanya mendengar dari tetangga bahwa Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letjen Achmad Jani (baca: Ahmad Yani) dan para bawahannya diculik dan dibunuh.

Dampak dari peristiwa itu membuat para kader dan simpatisan PKI ditunjuk jadi kambing hitam. Berbagai daerah terjadi “pembersihan” terhadap PKI dan para anggota Gerwani, Ttermasuk Sumarti.

“Habis 1965 itu, saya sama yang lain ikut ditangkapi. Sempat dipenjara empat bulan di Purwodadi,” katanya.

Beruntung Sumarti bisa dibebaskan setelah sempat mendekam empat bulan. Ia bebas karena masih termasuk di bawah umur, selain peran ayahnya yang merupakan salah satu tokoh yang dituakan di PNI.

“Adik saya yang ngabari bapak, kalau saya ditangkap dan dipenjara di Purwodadi. Bapak yang lepasin saya. Saya juga dulu KTP saja belum punya,” ujar Sumarti.

“Kalau waktu itu sudah punya KTP dan kartu anggota (Gerwani), bisa lain ceritanya. Seperti teman-teman yang lain. Mereka dibawa ke Nusa Kambangan, setelah itu enggak pernah ketemu lagi,” ujarnya.

Sumarti kembali menjalani hidup seperti sedia kala setelah bebas. Pelajaran agama diteruskannya di sebuah pesantren dekat rumahnya. Sampai akhirnya merantau ke Ibu Kota. Bahkan, dirinya pernah jadi pemeran figuran di beberapa sinetron dan figuran

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement