JAKARTA - Membincang Pertempuran Surabaya 10 November 1945 tak bisa dilepaskan dari sosok Bung Tomo. Ia adalah pembakar semangat laskar-laskar dan juga pemimpin pasukan berani mati yang bertempur di garis depan.
Namun, di balik sosoknya yang garang dan beringas, Bung Tomo ternyata seorang yang romantis. Hal ini tercermin dari kisah surat-surat cintanya dengan seorang gadis.
BACA JUGA:
Kisah ini, diceritakan di majalah Tarbawi Edisi Khusus “Keajaiban Surat Cinta: Kisah Para Pejuang Muslim”.
“Datanglah. Waktuku amat sempit. Ada yang ingin aku ceriterakan padamu” atau, “Aku rindu padamu tetapi tak punya waktu. Bisa Jeng menemuiku?” (Surat Cinta Bung Tomo)
BACA JUGA:
Surat-surat kecil selalu dikirim Bung Tomo saat di front pertempuran lewat Cak Ri(Anak buah Bung Tomo) kepada Sulistina (Kekasih Bung Tomo). Apalagi selain selembar surat selalu ada saja oleh-oleh seperti payung Tasikmalaya atau Batik solo yang ia bawa selepas pulang dari front.
Sebelumnya, Bung Tomo bertemu dengan kekasihnya ini saat terjadi pertempuran di Surabaya (1945), saat itu Sulistiani (Kekasih Bung Tomo) tergabung dalam PMI.
”Durung maju perang wis ndelik. Yok opo se…!” (Belum maju perang kok sudah sembunyi, gimana sih!).
Hingga suatu saat beliau mengirimkan surat: Jeng Lies aku cinta padamu. nanti kalau perang sudah usai. Dan…Kita akan membuat Mahligai.”
“Tak terlalu tinggi cita-citaku. Impianku kita punya rumah diatas gunung. Jauh dari keramaian. Rumah yang sederhana seperti pondok. Hawanya bersih, sejuk dan pemandangannya Indah. Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri. aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa,”